MAKALAH
MASAILUL FIQHIYAH
MASA
IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERCERAI
Dosen : H. M. Bahrul Ilmie, S.Ag, M.Hum
OLEH
NAMA : SAEFUL MUJIB
NIM : 2104163
PROGRAM :
S.1 PAI / VI / TRANSFER
STAINU KEBUMEN
TAHUN AJARAN 2010/2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik
serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Masa
Iddah mata kuliah Masailul Fiqhiyyah dengan baik. Shalawat dan salam tak lupa kami sanjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Kami melihat dimasyarakat betapa banyak permasalahan rumah tangga yang
berujung dengan perceraian. Oleh karena itu, penyusunan makalah Masa Iddah ini kami susun dengan
tujuan memberikan pemahaman tentang persoalan yang muncul pasca perceraian yang
kita kenal dengan masa iddah. Dengan penyusunan makalah ini, semoga masyarakat
akan dapat memahaminya sehingga akan lebih berhati-hati dalam mengarungi
bahtera rumah tangganya dan tidak sampai menimbulkan perceraian.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kekeliruan. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun sangat kami harapkan guna perbaikan makalah ini. Semoga penyusunan
makalah ini sangat berguna bagi kita semua.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Seks merupakan
kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat
serta selalu menuntut untuk dipenuhi. Pemenuhan
kebutuhan akan seks itu hanya bisa dilakukan apabila antara laki-laki
dan perempuan telah diikat oleh suatu
ikatan yang sah yang disebut dengan pernikahan.
Sesungguhnya tujuan
nikah itu tidak hanya
sekedar untuk pemenuhan kebutuhan biologis menusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan
lain yang lebih mulia sebagaimana
dituangkan didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang berbunyi :
" Perkawinan ialah
ikatan lahir batin
antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami
istri denan tujuan
membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa". [1]
Manakala setelah
perkawinan terjadi hubungan
seks, tetapi dalam perjalanan perkawinan
itu ternyata tidak
berjalan dengan mulus
dan terdapat berbagai halangan
dan rintangan yang
mengakibatkan tujuan perkawinan
itu tidak bisa dicapai
dan sebagai puncaknya
terjadilah perceraian. Akibat
dari adanya perceraian inilah
yang menyebabkan adanya
kewajiban bagi seorang perempuan untuk " beriddah
" atau dalam istilah lain disebut "masa tunggu".
Adanya masa iddah
sebenarnya untuk memberi kesempatan kepada kedua pihak untuk berpikir ulang dan
kembali lagi. Bila suami melakukan rujuk dalam masa `iddah sang istri, maka
proses rujuknya tanpa melakukan apapaun. Cukup suami mendatangi istri dan
menyepakati rujuk.
Tapi bila sudah
selesai masa iddah, maka hubungan suami istri purna sudah dan tidak bisa hanya
sekedar menyepakati untuk rujuk. Untuk menyambung kembali hubungan suami istri,
harus dengan menikah ulang lagi. Dengan mas kawin, 2 saksi dan juga wali yang
mursyid. Persis sebagaimana mereka dahulu melakukannya pertama kali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masa Iddah
Kata iddah berasal
dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. “ Iddah “ yaitu
masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan (cerai hidup atau
cerai mati) suaminya, gunanya supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak.
Menurut istilah, ulama-ulama
memberikan pengertian sebagai berikut :
1.
Syarbini Khatib
dalam kitabnya Mugnil
Muhtaj mendifinisikan iddah dengan "Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang
perempuan unuk mengetahui kekosongan rahimnya
atau karena sedih
atas meninggal suaminya.[2]
2.
Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs.
Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan
" Masa yang tertentu untuk
menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan
rahimnya sesudah bercerai."[3]
3.
Prof. Abdurraahman I Doi, Ph.D
memberikan pengertian iddah ini dengan " suatu masa
penantian seorang perempuan
sebelum kawin lagi
setelah kematian suaminya atau bercerai darinya."[4]
4.
Sayyid Sabiq memberikan pengertian
dengan " masa lamanya bagi
perempuan (istri) menunggu dan
tidak boleh kawin
setelah kematian suaminya."[5]
Selain pengertian
tersebut diatas, banyak lagi
pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya
pengertian tersebut hampir sama maksudnya yaitu diterjemahkan
dengan masa tunggu
bagi seorang perempuan untuk
bisa rujuk lagi
dengan bekas suaminya
atau batasan untuk boleh kawin lagi.
B. Macam-macam Masa Iddah
Ikatan
pernikahan antara suami-istri dinyatakan habis baik di waktu hidupnya (yakni
bercerai) maupun meninggal salah satu diantara keduanya. Disetiap keadaan ini
terdapat kewajiban masa iddah yaitu waktu terbatas (menunggu untuk menikah
lagi) secara syar’i.
Didalam
masa iddah terdapat hikmah diantaranya diharamkan merobohkan nilai pernikahan
yang telah sempurna, untuk mengetahui (apakah ada) tanda-tanda kehamilan
didalam rahim, agar tidak menyetubuhinya kecuali memisahkan darinya, masa
menunggu dan memutuskan keturunan (dari suami sebelumnya).
Hikmah
yang lain adalah memuliakan ikatan pernikahan yang lalu, menghormati hak suami
yang telah bercerai dan menampakkan kepada masyarakat bahwa ia telah bercerai.
Masa iddah ini
terbagi atas 4 macam, yaitu :
1.
Iddah masa kehamilan,
yaitu waktunya sampai masa kelahiran kandungan yang
dikarenakan thalaq ba’in (perceraian yang mengakibatkan tidak kembali
kepada suaminya) atau talaq raj’i (perceraian yang dapat kembali
kepada suaminya) dalam keadaan hidup atau wafat. Firman Alloh ‘azza wa jalla :
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai
mereka melahirkan.” QS. Ath-Thalaq ; 4
2.
Iddah muthlaqah (masa
perceraian), yaitu masa iddah yang terhitung masa haidh, maka wanita
menunggu tiga quru’ (masa suci), sebagaimana firman Alloh
‘azza wa jalla :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” QS.
Al-Baqarah ; 228.
Yaitu
3 kali masa suci.
3.
Perempuan yang tidak
terkena haidh, yakni ada dua jenis perempuan yaitu perempuan usia dini
yang tidak/belum terkena haidh dan perempuan usia tua yang telah berhenti masa
haidhnya (menopause), seperti dijelaskan Alloh ‘azza wa jalla tentang masa
iddah dua jenis perempuan ini :
‘Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö‘$# £`åkèE£‰Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& ‘Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts† 4
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haidh.” QS. At-Thalaq ; 4
Perempuan-perempuan
yang tidak haid ada tiga :
1)
Yang masih kecil (belum sampai
umur).
2)
Yang sudah sampai umur, tetapi
belum pernah kotoran.
3)
Yang sudah pernahn haid, tetapi
sudah tua jadi sudah tidak kotoran lagi.
4.
Istri yang ditinggal
suaminya karena wafat, Alloh menjelaskan masa iddahnya sebagai berikut
:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& z`óÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ö‘r& 9åkôr& #ZŽô³tãur
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu
dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beriddah) empat bulan sepuluh hari.” QS. Al-Baqarah ; 234
Ayat
ini mencakup wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi, usia
muda maupun usia tua dan TIDAK TERMASUK WANITA HAMIL. Karena masa iddah bagi
wanita hamil apabila mereka sampai melahirkan, seperti yang telah dijelaskan
diatas.
Untuk menghitung tiga kali masa suci itu
sebagai berikut :
Perceraian yang
terjadi sewaktu suci, kalau dalam masa suci itu tidak dicampuri oleh suaminya,
suci sewaktu perceraian itu terhitung satu kali suci. Tetapi kalau dalam suci
waktu perceraian itu telah dicampuri, maka terhitung tiga kali suci mulai dari suci
sesudah haid yang pertama sesudah perceraian. Begitu juga perceraian yang
terjadi diwaktu haid terhitung tiga kali sucinya, dari sucinya sesudah haid
yang terjadi sewaktu perceraian.
Dengan dua hal
yang terakhir ini, menyebabkan iddah lebih panjang, oleh sebab itu dilarang
keras menjatuhkan thalaq sewaktu haid dan suci yang sudah dicampuri.
Istri yang
diceraikan suaminya sebelum dicampurinya, tidak ada masa iddahnya (tak perlu
beriddah).
Firman Allah Swt :
¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£‰Ïã
“ Kemudian kamu thalaq mereka itu sebelum kamu mencampurinya
Maka tidaklah mereka ber'iddah “, Al Ahzab 49.
C.
Hak Perempuan Dalam
Iddah
1. Perempuan yang
taat dalam iddah rajiyah, berhak menerima dari yang menthalaqnya (bekas
suaminya), tempat tinggal (rumah), pakaian dan segala belanja, terkecuali istri
yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.
Sabda
Rasulullah s.a.w. :
Dari
Fatimah binti Qais telah berkata Rasulullah s.a.w. kepadanya :
ﻗﺎﻝﺮﺳﻮﻝﺍﷲﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻟﻬﺎﺇﻧﻤﺎﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﻭﺍﻟﺴﻜﻨﻰﻟﻠﻤﺮﺃﺓﺇﺫﺍﻛﺎﻥﻟﺰﻭﺧﻬﺎﻋﻠﻴﻬﺎﺍﻟﺮﺟﻌﺔ
﴿ﺭﻭﺍﻩﺃﺣﻤﺪﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉ﴾
Dari
Fathimah binti Qais telah berkata Rasulullah s.a.w. kepadanya : “Perempuan yang
berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman suaminya itu apabila bekas suaminya
ituberhak ruju’ kepadanya”. Riwayat Ahmad dan Nasai.
2. Perempuan yang
dalam iddah bain, kalau ia mengandung, ia juga berhak mengambil kediaman,
nafkah dan pakaian.
Firman
Allah s.w.t. :
bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
“Jika mereka janda yang diceraikan mengandung, maka beri
nafkahlah mereka olehmu, sampai lahir kandungannya”. At Thalaq 6
3. Bain yang
tidak hamil, baik bain dengan thalaq tebus maupun dengan thalaq tiga, mereka
hanya berhak mengambil tempat tinggal, lain tidak.
Firman
Allah s.w.t. :
£`èdqãZÅ3ó™r& ô`ÏB ß]ø‹ym OçGYs3y™ `ÏiB öNä.ω÷`ãr
“tinggalkanlah mereka ditempat
kediaman yang sepadan dengan keadaan kamu”. At Thalaq 6
Sebagian
ulama berpendapat bahwa, bain yang tidak hamil, tidak berhak nafkah dan tidak
pula tempat tinggal.
Sabda
Rasullah s.a.w. :
ﻋﻦﻓﺎﻃﻤﺔﺑﻨﺖﻗﻴﺲﻋﻦﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻓﻰ
ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔﺛﻼﺛﺎﻗﻞﻟﻴﺲﻟﻬﺎﺳﻜﻨﻰﻭﻻﻧﻔﻘﺔ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﺣﻤﺪﻭﻣﺴﻠﻢ﴾
Dari
Fatimah binti Qais dari Nabi s.a.w.
mengenai perempuan yang dithalaq tiga, kata Rasulallah s.a.w. : “ia
tidak berhak tempat tinggal dan tidak pula nafkah”. Riwayat Ahmad dan Muslim.
Adapun
firman Allah dalam surat At Thalaq ayat 6 tersebut diatas, kata mereka hanya
terhadap perempuan yang dalam iddah raj’iyah.
4. Yang dalam
iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun dia mengandung, karena
dia dan anak yang ada dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka dari
suaminya yang meninggal dunia itu.
Sabda
Rasulullah s.a.w. :
ﻟﻴﺲﻟﻠﺤﺎﻣﻞﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰﻋﻨﻬﺎﺯﻭﺟﻬﺎﻧﻔﻘﺔ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻰ﴾
“Janda
hamil yang kematian suaminya, tidak berhak mengambil nafkah”. Riwayat
Daruquthni
D.
Eksistensi Iddah Dalam Perceraian
Sebagaimana
pertanyaan pada bagian terdahulu, kenapa seorangperempuan yang bercerai dengan
suaminya baik karena ceai hidup atau karenasuaminya meninggal dunia diwajibkan
beriddah, dan kenapa pula harus selamaitu masa iddahnya. danya iddah itu ada
beberapa tujuan diantaranya sebagaiberikut :
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
a. Bagi suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih
antara rujukdengan istri ; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
b. Bagi istri merupakan kesempatan/saat untuk menetahui keadaan
sebenarnya; yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
c.
Sebagai masa transisi.[6]
Menurut KH. Azhar Basyir,
MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk menunjukkan betapa
pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
2.
Peristiwa perkawinan yang
demikian penting dalam hidup manusia itu arusdiusahakan agar kekal.
3.
Dalam perceraian karena
ditnggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkanrasa berkabung atas kematian
suami bersama-sama keluarga suami.
4.
Bagi perceraian yang
terjadi antara suami istri yang pernah melakukanhubungan kelamin, iddah
diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.[7]
E. Iddah Dalam Perspektif
Setelah menyimak dari pengertian iddah,
hukum iddah, macam-macam
iddah, apalagi setelah mencermati
lamanya masa iddah yang kemudian dikaitkan
dengan tujuan iddah
serta jika dihubungkan
dengan perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan berbagai
dinamikanya saat ini, maka
tidaklah salah rasanya kalau ada yang kembali mempertanyakan, haruskah waktu
beriddah sepanjang atau selama itu ?, yakni iddah bagi wanita yang dicerai suaminya
baik karena cerai
hidup atau karena
cerai mati yaitu
:
-
Iddah wanita yang masih
haid = tiga kali suci dari haid atau
kurang lebih tiga bulan,
-
Iddah wanita
yang telah lewat
masa iddahnya (manoupuse)
= tiga bulan dan
-
Iddah wanita yang kematian
suami = empat bulan sepuluh hari.
Itulah lamanya masa beriddah yang diatur dalam Islam. Bahkan akan terasa
lebih lama lagi kalau memperhatikan masa iddah sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 33 dan 34 BW berbunyi :
Pasal 33. Antara mereka yang perkawinannya telah dibubarkan
sesuai dengan ketentuan Pasal 119,
3e atau 4
e tak diperbolehkan
untuk kedua kalinya diadakan perkawinan, melainkan
setelah lewat waktu
satu tahun semenjak perkawinan dibubarkan perkawinan
mereka yang terakhir dibukukan
dalam register Catatan Sipil. Perkawinan setelah yang keduakalinya
antara orang-orang yang sama adalah dilarang.
Pasal 34. Seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin
lagi, melainkan setelah lewat waktu
tiga ratus hari
semenjak perkawinan terakhir dibukarkan.[8]
Tenggang waktu atau lamanya iddah sebagaimana digambarkan diatas, masih
relefankah untuk saat-saat atau zaman semaju sekarang ini dengan alasan,
yaitu :
-
Dengan majunya
ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya, dengan diiringi semakin majunya dibidang
ilmu dan teknologi kedokteran,
maka tidaklah heran jika kehamilan perempuan itu akan lebih cepat dapat
diketahui disertai dengan tingkat keakuratannya yang sangat tinggi.
-
Dengan majunya ilmu pengetahuan
dibidang transportasi dan komunikasi, sehingga lebih memungkinkan orang
berhubungan dan berkomunikasi dengan lebih cepat dan tepat, baik berhubungan
untuk berkomunikasi secara langsung atau tidak dengan tujuan bertukar pikiran,
konsultasi dan lain-lain sebagainya. Sehingga dengan adanya komunikasi itu, maka
akan lebih cepat pula untuk dapat
mengambil kesimpulan, sekaligus langkah dan arah kehidupan
selanjutnya.
Untuk menentukan jawaban terhadap
persoalan-persoalan diatas yang dapat
menjadikan pergeseran tenggang waktu masa iddah kearah yang lebih pendek
lagi. Mungkin hanya cukup satu kali haid atau selama satu bulan untuk jenis
iddah tertentu, hal ini penulis ungkapkan
karena pendapat kearah
itupun pernah pula Rasulullah ungkapkan didalam
sebuah hadistnya, meskipun
dalam hadist hasan
gharib, hadist tersebut berbunyi
:
ﻪﻟﻟﺍ ﻰﻟﺻ
ﻲﺒﻧﻟﺍ ﺎﻫﺭﻣﺃﺎﻓ . ﺎﻬﺠﻮﺯ ﻥﻣ ﺖﻌﻟﺘﺤﺇ ﺲﻴﻗ ﻥﺑﺍ ﺖﺒﺎﺜ ﺓﺃﺭﻤﺍ ﻦﺃ ﺲﺎﺑﻋ ﻰﺒﺃ ﻦﻋﻮ
( ﺐﻳﺭﻏ ﻥﺴﺣ ﺚﻴﺪﺣ ﻝﺎﻗﻮ ﺫﻴﻤﺮﺘﻟﺍﻮ ﺩﻭﺍﺪ ﻭﺑﺃ ﻩﺍﻮﺮ ) ﺔﺿﻴﺤﺒ ﺍﻮﺪﺗﻌﺗ ﻥﺃ : ﻢﻟﺴﻮ ﻪﻴﻟﻋ
Artinya : Dari Abi Abbas ; bahwa istri Ttsabit bin Qais
khulu' dari suaminya, maka Nabi memerintahkan untuk beriddah satu kali haid.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Iddah merupakan
batas menunggu bagi
perempuan yang bercerai
dengan suaminya, baik karena cerai mati atau tidak untuk bisa bersuami
lagi.
2.
Lamanya iddah
bagi wanita yang bercerai
dengan sauminya, yaitu :
Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid atau kurang
lebih tuga bulan, Iddah wanita yang telah lewat
masa iddahnya (manoupuse) = tiga bulan.dan Iddah wanita yang kematian
suami = empat bulan sepuluh hari.
3.
Manfaat dari adanya iddah
diantaranya adalah untuk :
a.
Mengetahui kekosongan rahim
seorang wanita dari kehamilan;
b.
Gambaran nilai ketaatan
seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya.
c.
Lamanya batas boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal
mati oleh suaminya;
d.
Tenggang waktu
berfikir tentang positif
atau negatifnya untuk
rujuk kembali atau meneruskan
perceraian bagi pasangan
suami istri yang bercerai, dan ;
e.
Sebagai ujian terhadap kesabaran.
4.
Dengan adanya
kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi ibidang
kedokeran, komunikasi serta
transportasi, maka masa
iddah masih memungkinkan untuk
didiskusikan menuju masa
iddah kearah yang
lebih singkat lagi.
B. SARAN
Kami sadar bahwa, penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya dimasa yang akan datang.
Demikian yang dapat kami sampaikan, sekian dan terima kasih.
[1] Kumpulan perundang-undangan dalam lingkungan Peradilan
Agama, Al Hikmah, Jakarta, cet. IV,
1995, hlm 123.
[2] Muhammad
Syarbini Khatib, Mughnil Muhtaj, III, Mustafa Babil Halabi, Mesir, tth,
hlm. 384.
[3] Drs. H. Abdul Fatah dan Drs. H. Abd. Ahmadi, Fiqh
Islam Lengkap, Rineka Cipta, Jakart a, 1994, hlm. 246.
[4] Prof. Abdurrahman I Doi, Perkawinan dalam Syari’at
Islam, Renika Cipta, Jakarta, cet. I, 1992, hlm. 116
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Drs. Muhammad
Thalib, Al Ma’arif, Bandung, cet. XX, tth, hlm. 150
[6] Drs.
Sudarsono, SH, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, cet. II, 1994,
hlm. 144.
[7] H. Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam,
vide, UII Press, Yogyakart a, cet. 19, 1999, hlm 94.
[8] Prof. R. Soebakti dan Tirtosudibio, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
1978, hlm. 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar