Jumat, 01 Juni 2012

Masa Iddah Perempuan yg dicerai


MAKALAH
MASAILUL FIQHIYAH

MASA IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERCERAI

Dosen : H. M. Bahrul Ilmie, S.Ag, M.Hum








OLEH
NAMA               : SAEFUL MUJIB
NIM                    : 2104163
PROGRAM       : S.1 PAI / VI / TRANSFER



STAINU KEBUMEN
TAHUN AJARAN 2010/2011


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Masa Iddah mata kuliah Masailul Fiqhiyyah dengan baik.  Shalawat dan salam tak lupa kami sanjungkan kepada  Nabi Muhammad SAW.
Kami melihat dimasyarakat betapa banyak permasalahan rumah tangga yang berujung dengan perceraian. Oleh karena itu, penyusunan  makalah Masa Iddah ini kami susun dengan tujuan memberikan pemahaman tentang persoalan yang muncul pasca perceraian yang kita kenal dengan masa iddah. Dengan penyusunan makalah ini, semoga masyarakat akan dapat memahaminya sehingga akan lebih berhati-hati dalam mengarungi bahtera rumah tangganya dan tidak sampai menimbulkan perceraian.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan guna perbaikan makalah ini. Semoga penyusunan makalah ini sangat berguna bagi kita semua.

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

Seks merupakan kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau  sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut untuk dipenuhi. Pemenuhan  kebutuhan akan seks itu hanya bisa dilakukan apabila antara laki-laki dan perempuan telah  diikat oleh suatu ikatan yang sah yang disebut dengan pernikahan.
Sesungguhnya tujuan nikah itu  tidak  hanya  sekedar  untuk  pemenuhan kebutuhan biologis  menusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain yang lebih mulia  sebagaimana dituangkan didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang berbunyi : "  Perkawinan  ialah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang pria  dan  seorang wanita  sebagai  suami  istri  denan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". [1]
Manakala   setelah   perkawinan   terjadi   hubungan   seks,   tetapi   dalam perjalanan  perkawinan  itu  ternyata  tidak  berjalan  dengan  mulus  dan  terdapat berbagai  halangan  dan  rintangan  yang  mengakibatkan  tujuan  perkawinan  itu tidak  bisa  dicapai  dan  sebagai  puncaknya  terjadilah  perceraian.  Akibat  dari adanya  perceraian  inilah  yang  menyebabkan  adanya  kewajiban  bagi  seorang perempuan untuk " beriddah " atau dalam istilah lain disebut "masa tunggu".
Adanya masa iddah sebenarnya untuk memberi kesempatan kepada kedua pihak untuk berpikir ulang dan kembali lagi. Bila suami melakukan rujuk dalam masa `iddah sang istri, maka proses rujuknya tanpa melakukan apapaun. Cukup suami mendatangi istri dan menyepakati rujuk.
Tapi bila sudah selesai masa iddah, maka hubungan suami istri purna sudah dan tidak bisa hanya sekedar menyepakati untuk rujuk. Untuk menyambung kembali hubungan suami istri, harus dengan menikah ulang lagi. Dengan mas kawin, 2 saksi dan juga wali yang mursyid. Persis sebagaimana mereka dahulu melakukannya pertama kali.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Masa Iddah
Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. “ Iddah “ yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan (cerai hidup atau cerai mati) suaminya, gunanya supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak.
Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
1.    Syarbini   Khatib   dalam   kitabnya   Mugnil   Muhtaj   mendifinisikan   iddah dengan "Iddah  adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan unuk mengetahui   kekosongan    rahimnya   atau   karena   sedih    atas   meninggal suaminya.[2]
2.    Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan  "  Masa yang tertentu  untuk  menungu,  hingga  seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai."[3]
3.    Prof. Abdurraahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan " suatu   masa  penantian   seorang   perempuan   sebelum   kawin   lagi   setelah kematian suaminya atau bercerai darinya."[4]
4.    Sayyid Sabiq memberikan  pengertian  dengan  " masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan  tidak  boleh  kawin  setelah  kematian suaminya."[5]
Selain pengertian tersebut  diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut  hampir sama  maksudnya yaitu  diterjemahkan  dengan  masa  tunggu  bagi  seorang perempuan  untuk  bisa  rujuk  lagi  dengan  bekas  suaminya  atau  batasan  untuk boleh kawin lagi.

B.       Macam-macam Masa Iddah
Ikatan pernikahan antara suami-istri dinyatakan habis baik di waktu hidupnya (yakni bercerai) maupun meninggal salah satu diantara keduanya. Disetiap keadaan ini terdapat kewajiban masa iddah yaitu waktu terbatas (menunggu untuk menikah lagi) secara syar’i.
Didalam masa iddah terdapat hikmah diantaranya diharamkan merobohkan nilai pernikahan yang telah sempurna, untuk mengetahui (apakah ada) tanda-tanda kehamilan didalam rahim, agar tidak menyetubuhinya kecuali memisahkan darinya, masa menunggu dan memutuskan keturunan (dari suami sebelumnya).
Hikmah yang lain adalah memuliakan ikatan pernikahan yang lalu, menghormati hak suami yang telah bercerai dan menampakkan kepada masyarakat bahwa ia telah bercerai.

Masa iddah ini terbagi atas 4 macam, yaitu :
1.         Iddah masa kehamilan, yaitu waktunya sampai masa kelahiran kandungan yang dikarenakan thalaq ba’in (perceraian yang mengakibatkan tidak kembali kepada suaminya) atau talaq raj’i (perceraian yang dapat kembali kepada suaminya) dalam keadaan hidup atau wafat. Firman Alloh ‘azza wa jalla :
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan.” QS. Ath-Thalaq ; 4
2.         Iddah muthlaqah (masa perceraian), yaitu masa iddah yang terhitung masa haidh, maka wanita menunggu tiga quru’ (masa suci), sebagaimana firman Alloh ‘azza wa jalla :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” QS. Al-Baqarah ; 228.
Yaitu 3 kali masa suci.
3.         Perempuan yang tidak terkena haidh, yakni ada dua jenis perempuan yaitu perempuan usia dini yang tidak/belum terkena haidh dan perempuan usia tua yang telah berhenti masa haidhnya (menopause), seperti dijelaskan Alloh ‘azza wa jalla tentang masa iddah dua jenis perempuan ini :
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.” QS. At-Thalaq ; 4
Perempuan-perempuan yang tidak haid ada tiga :
1)      Yang masih kecil (belum sampai umur).
2)      Yang sudah sampai umur, tetapi belum pernah kotoran.
3)      Yang sudah pernahn haid, tetapi sudah tua jadi sudah tidak kotoran lagi.
4.         Istri yang ditinggal suaminya karena wafat, Alloh menjelaskan masa iddahnya sebagai berikut :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” QS. Al-Baqarah ; 234
Ayat ini mencakup wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi, usia muda maupun usia tua dan TIDAK TERMASUK WANITA HAMIL. Karena masa iddah bagi wanita hamil apabila mereka sampai melahirkan, seperti yang telah dijelaskan diatas.
Untuk menghitung tiga kali masa suci itu sebagai berikut :
Perceraian yang terjadi sewaktu suci, kalau dalam masa suci itu tidak dicampuri oleh suaminya, suci sewaktu perceraian itu terhitung satu kali suci. Tetapi kalau dalam suci waktu perceraian itu telah dicampuri, maka terhitung tiga kali suci mulai dari suci sesudah haid yang pertama sesudah perceraian. Begitu juga perceraian yang terjadi diwaktu haid terhitung tiga kali sucinya, dari sucinya sesudah haid yang terjadi sewaktu perceraian.
Dengan dua hal yang terakhir ini, menyebabkan iddah lebih panjang, oleh sebab itu dilarang keras menjatuhkan thalaq sewaktu haid dan suci yang sudah dicampuri.
Istri yang diceraikan suaminya sebelum dicampurinya, tidak ada masa iddahnya (tak perlu beriddah).
Firman Allah Swt :
¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã
“ Kemudian kamu thalaq mereka itu sebelum kamu mencampurinya Maka  tidaklah mereka ber'iddah “, Al Ahzab 49.

C.      Hak Perempuan Dalam Iddah
1.      Perempuan yang taat dalam iddah rajiyah, berhak menerima dari yang menthalaqnya (bekas suaminya), tempat tinggal (rumah), pakaian dan segala belanja, terkecuali istri yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
Dari Fatimah binti Qais telah berkata Rasulullah s.a.w. kepadanya :
ﻗﺎﻝﺳﻮﻝﺍﷲﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻟﻬﺎﺇﻧﻤﺎﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﻭﺍﻟﺴﻜﻨﻰﻟﻠﻤﺮﺃﺓﺇﺫﺍﻛﺎﻥﻟﺰﻭﺧﻬﺎﻋﻠﻴﻬﺎﺍﻟﺮﺟﻌﺔ
﴿ﺭﻭﺍﻩﺃﺣﻤﺪﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉ﴾
Dari Fathimah binti Qais telah berkata Rasulullah s.a.w. kepadanya : “Perempuan yang berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman suaminya itu apabila bekas suaminya ituberhak ruju’ kepadanya”. Riwayat Ahmad dan Nasai.
2.      Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung, ia juga berhak mengambil kediaman, nafkah dan pakaian.
Firman Allah s.w.t. :
bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
“Jika mereka janda yang diceraikan mengandung, maka beri nafkahlah mereka olehmu, sampai lahir kandungannya”. At Thalaq 6
3.      Bain yang tidak hamil, baik bain dengan thalaq tebus maupun dengan thalaq tiga, mereka hanya berhak mengambil tempat tinggal, lain tidak.
Firman Allah s.w.t. :
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr
“tinggalkanlah mereka ditempat kediaman yang sepadan dengan keadaan kamu”. At Thalaq 6
Sebagian ulama berpendapat bahwa, bain yang tidak hamil, tidak berhak nafkah dan tidak pula tempat tinggal.
Sabda Rasullah s.a.w. :
ﻋﻦﻓﺎﻃﻤﺔﺑﻨﺖﻗﻴﺲﻋﻦﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻓﻰ
ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔﺛﻼﺛﺎﻗﻞﻟﻴﺲﻟﻬﺎﺳﻜﻨﻰﻭﻻﻧﻔﻘﺔ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﺣﻤﺪﻭﻣﺴﻠﻢ﴾
Dari Fatimah binti Qais dari Nabi s.a.w.  mengenai perempuan yang dithalaq tiga, kata Rasulallah s.a.w. : “ia tidak berhak tempat tinggal dan tidak pula nafkah”. Riwayat Ahmad dan Muslim.
Adapun firman Allah dalam surat At Thalaq ayat 6 tersebut diatas, kata mereka hanya terhadap perempuan yang dalam iddah raj’iyah.
4.      Yang dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun dia mengandung, karena dia dan anak yang ada dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal dunia itu.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
ﻟﻴﺲﻟﻠﺤﺎﻣﻞﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰﻋﻨﻬﺎﺯﻭﺟﻬﺎﻧﻔﻘﺔ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻰ﴾
“Janda hamil yang kematian suaminya, tidak berhak mengambil nafkah”. Riwayat Daruquthni


D.      Eksistensi Iddah Dalam Perceraian
Sebagaimana pertanyaan pada bagian terdahulu, kenapa seorangperempuan yang bercerai dengan suaminya baik karena ceai hidup atau karenasuaminya meninggal dunia diwajibkan beriddah, dan kenapa pula harus selamaitu masa iddahnya. danya iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagaiberikut :
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
a.     Bagi suami merupakan kesempatan/saat berfikir untuk memilih antara rujukdengan istri ; atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
b.    Bagi istri merupakan kesempatan/saat untuk menetahui keadaan sebenarnya; yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
c.     Sebagai masa transisi.[6]
Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut :
1.    Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
2.    Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu arusdiusahakan agar kekal.
3.    Dalam perceraian karena ditnggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkanrasa berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
4.    Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukanhubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.[7]

E.       Iddah Dalam Perspektif
Setelah menyimak dari pengertian  iddah,  hukum  iddah, macam-macam iddah,  apalagi setelah mencermati lamanya masa iddah yang kemudian dikaitkan  dengan  tujuan  iddah  serta  jika  dihubungkan  dengan  perkembangan dan  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  dengan  berbagai  dinamikanya saat ini,   maka tidaklah salah rasanya kalau ada yang kembali mempertanyakan, haruskah waktu beriddah sepanjang atau selama itu ?, yakni iddah bagi wanita yang dicerai  suaminya  baik  karena  cerai  hidup  atau  karena  cerai  mati  yaitu  :
-    Iddah wanita yang masih haid =  tiga kali suci dari haid atau kurang lebih tiga bulan,  
-    Iddah   wanita  yang  telah   lewat   masa  iddahnya  (manoupuse)   =   tiga bulan dan
-    Iddah wanita yang kematian suami =  empat bulan sepuluh hari.
Itulah lamanya masa beriddah yang diatur dalam Islam. Bahkan akan terasa lebih lama lagi kalau memperhatikan masa iddah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 dan 34 BW berbunyi :
Pasal 33. Antara mereka yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan  Pasal  119,  3e  atau  4  e  tak  diperbolehkan  untuk  kedua kalinya  diadakan perkawinan,  melainkan  setelah  lewat  waktu  satu tahun  semenjak  perkawinan dibubarkan  perkawinan   mereka  yang terakhir dibukukan dalam register Catatan Sipil. Perkawinan setelah yang  keduakalinya  antara   orang-orang  yang sama adalah dilarang.
Pasal 34. Seorang perempuan tidak  diperbolehkan   kawin   lagi,   melainkan setelah lewat  waktu  tiga  ratus  hari  semenjak  perkawinan  terakhir dibukarkan.[8]
Tenggang waktu atau lamanya iddah sebagaimana digambarkan diatas, masih relefankah untuk saat-saat atau zaman semaju sekarang ini dengan alasan, yaitu  :
-       Dengan   majunya   ilmu   pengetahuan   dan   teknologi   khususnya,   dengan diiringi semakin majunya dibidang ilmu dan  teknologi  kedokteran,  maka tidaklah heran jika kehamilan perempuan itu akan lebih cepat dapat diketahui disertai dengan tingkat keakuratannya yang sangat tinggi.
-       Dengan majunya ilmu pengetahuan dibidang transportasi dan komunikasi, sehingga lebih memungkinkan orang berhubungan dan berkomunikasi dengan lebih cepat dan tepat, baik berhubungan untuk berkomunikasi secara langsung atau tidak dengan tujuan bertukar pikiran, konsultasi dan lain-lain sebagainya. Sehingga dengan adanya komunikasi itu, maka akan lebih cepat pula untuk dapat  mengambil  kesimpulan,   sekaligus langkah dan arah kehidupan selanjutnya.
Untuk  menentukan jawaban  terhadap  persoalan-persoalan  diatas  yang dapat  menjadikan pergeseran tenggang waktu masa iddah kearah yang lebih pendek lagi. Mungkin hanya cukup satu kali haid atau selama satu bulan untuk jenis iddah tertentu, hal ini  penulis  ungkapkan  karena  pendapat  kearah  itupun pernah  pula  Rasulullah ungkapkan  didalam  sebuah  hadistnya,  meskipun  dalam  hadist  hasan  gharib, hadist tersebut  berbunyi :
ﻪﻟﻟﺍ ﻰﻟﺻ ﻲﺒﻧﻟﺍ ﺎﻫﺭﻣﺃﺎﻓ . ﺎﻬﺠﻮﺯ ﻥﻣ ﺖﻌﻟﺘﺤﺇ ﺲﻴﻗ ﻥﺑﺍ ﺖﺒﺎﺜ ﺓﺃﺭﻤﺍ ﻦﺃ ﺲﺎﺑﻋ ﻰﺒﺃ ﻦﻋﻮ
( ﺐﻳﺭﻏ ﻥﺴﺣ ﺚﻴﺪﺣ ﻝﺎﻗﻮ ﺫﻴﻤﺮﺘﻟﺍﻮ ﺩﻭﺍﺪ ﻭﺑﺃ ﻩﺍﻮﺮ ) ﺔﺿﻴﺤﺒ ﺍﻮﺪﺗﻌﺗ ﻥﺃ : ﻢﻟﺴﻮ ﻪﻴﻟﻋ
Artinya :  Dari Abi Abbas ; bahwa istri Ttsabit bin Qais khulu' dari suaminya, maka Nabi memerintahkan untuk beriddah satu kali haid.


BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
1.         Iddah  merupakan  batas  menunggu   bagi  perempuan  yang  bercerai  dengan suaminya, baik karena cerai mati atau tidak untuk bisa bersuami lagi.
2.         Lamanya  iddah  bagi  wanita  yang bercerai  dengan  sauminya,  yaitu :   Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid atau kurang lebih tuga bulan, Iddah wanita yang telah lewat  masa  iddahnya (manoupuse) =  tiga bulan.dan Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
3.         Manfaat dari adanya iddah diantaranya adalah untuk :
a.         Mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan;
b.        Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya.
c.         Lamanya batas  boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya;
d.        Tenggang  waktu   berfikir   tentang  positif   atau   negatifnya  untuk   rujuk kembali  atau   meneruskan   perceraian   bagi  pasangan   suami  istri  yang bercerai, dan  ;
e.         Sebagai ujian terhadap kesabaran.
4.         Dengan    adanya    kemajuan    ilmu    pengetahuan    dan    teknologi    ibidang kedokeran,    komunikasi        serta    transportasi,    maka    masa    iddah    masih memungkinkan  untuk  didiskusikan  menuju  masa  iddah   kearah   yang  lebih singkat lagi.

B.  SARAN
Kami sadar bahwa, penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya dimasa yang akan datang. Demikian yang dapat kami sampaikan, sekian dan terima kasih.


[1] Kumpulan perundang-undangan dalam lingkungan Peradilan Agama, Al Hikmah, Jakarta, cet. IV, 1995, hlm 123.
[2] Muhammad Syarbini Khatib, Mughnil Muhtaj, III, Mustafa Babil Halabi, Mesir, tth, hlm. 384.
[3] Drs. H. Abdul Fatah dan Drs. H. Abd. Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap, Rineka Cipta, Jakart a, 1994, hlm. 246.
[4] Prof. Abdurrahman I Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Renika Cipta, Jakarta, cet. I, 1992, hlm. 116
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Al Ma’arif, Bandung, cet. XX, tth, hlm. 150
[6] Drs. Sudarsono, SH, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, cet. II, 1994, hlm. 144.
[7] H. Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam, vide, UII Press, Yogyakart a, cet. 19, 1999, hlm 94.
[8] Prof. R. Soebakti dan Tirtosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
1978, hlm. 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar