POLITIK PENDIDIKAN PLURALIS MULTIKULTURAL
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Politik Pendidikan Islam Pluralis
Multikultural dengan baik. Shalawat
dan salam tak lupa kami sanjungkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Penulisan
makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Islam Multikultural
di STAINU Kebumen Program S1 PAI
Semester VI tahun 2011.
Dalam
Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya
penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia
telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam
masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan
bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang
kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan
sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia
yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi
terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar
golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku,
ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap
perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan
terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok
Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini
terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan
multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama
agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan
masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan
tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat
diimplementasi baik pada substansi maupun model
pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Melacak Akar Pluralisme dan
Multikulturalisme
Secara bahasa pluralisme berasal dari kata plural yang
berarti majmuk/jamak dan multikultural dari kata multi + cultural yang berarti
multi kebudayaan/peradaban. Menurut Oxpord Advanced Learner’s Dictionary
(2000): “pluralism is the existence of many different group in one society,
for example people of different races or of different political or religious
beliefs: cultural or political pluralism”.
Pluralisme adalah paham/isme tentang pluralitas, yakni
kesadaran akan realitas keragaman kehidupan masyarakat dalam aspek budaya,
sosial, politik, ekonomi,ideologi, agama, dan lainnya. Pluralisme, saat ini,
lebih bermakna kesadaran terhadap kenyataan adanya keragaman agama yang dianut
oleh manusia di dunia dan oleh karenanya tidak perlu terjadi adanya sikap
menyalahkan terhadap orang lain yang memiliki keyakinan agama yang berbeda.
Pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban (Syamsul Ma’arif, 2005: 11).
Multikulturalisme adalah paham dan keinsafan terhadap
realitas perbedaan dan varietas budaya yang dimiliki masyarakat/manusia dalam
kehidupannya di dunia ini. Manusia (kelompok manusia) dari dulu hingga
sekarang, secara kultural, tidak sama dan tidak pernah akan sama serta tidak
akan bisa disamakan. Baik pluralisme maupun multikulturalisme, keduanya diakui
keberadaannya dan harus diinsafi sebagai sebuah realitas kehidupan manusia di
muka bumi. Mengingkari keberadaannya berarti mengingkari eksistensi dirinya
sebagai manusia yang berbudaya dan memiliki isme-isme ideologis-teologisnya
(Ainul Yaqin, 2005).
Para pakar, secara prinsip, tidak membedakan istilah
pluralisme dan multikultural. Keduanya digunakan secara sama, mereka terkadang menyebut
pluralisme dan terkadang menyebut multikulturalisme.
B. Perspektif Islam tentang Pluralisme
dan Multikultural
Pandangan Islam terhadap pluralisme dan multicultural
berdasarkan sumber hukumnya (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai berikut:
a.
Islam memerintahkan umatnya untuk
berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali
nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara
bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya (Q.S. Al-Ankabut: 46).
b.
Pluralitas adalah sebuah kenyataan
objektif komunitas manusia. Allah menegaskan: “Hai manusia sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13).
c.
Islam memerintahkan umatnya untuk
berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali
nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara
bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya (Q.S. Al-Ankabut: 46).
d.
Al-Qur’an menegur keras Nabi
Muhammad ketika ia menunjukkan keinginan menggebu untuk memaksa manusia
menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya, sbb: “Jika Tuhanmu
menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka
apakah kamu hendak memaksa manusia di luar kesediaan mereka sendiri? (Q.S. 10:99).
C. Pengakuan terhadap Pluralitas dan
Multikulkural dalam Piagam Madinah
Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah
peradaban Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial
antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara
kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim (Ainul Yaqin, 2005: 51). Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai
pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal-hal penting yang dapat
dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah komunitas yang plural dan
multi kultural antara lain:
a.
Seluruh suku yang ada di madinah
disebut dalam pasal-pasal piagam dengan maksud menghormati identitas
kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut.
b.
Tiap-tiap kelompok etnik dan
keagamaan dijamin otonomi hukum dan budayanya secara totall.
c.
Secara garis besar piagam madinah
memuat kesepakatan antara Muhammad, kaum musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal
yang termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan
hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian
dan proteksi.
d.
Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.
e.
Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap
kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai
sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk.
f.
Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum muslimin dengan kelompok
beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas
toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Quran (Q.S al-Baqarah: 156,
al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6)
g.
Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani
yang ditemui dalam sejarah umat manusia.
C. Nilai-nilai yang Dikembangkan dalam Semangat Pluralisme dan Multikultural
Nilai-nilai
yang dikembangkan dalam pendidikan pluralisme-multikultural sangat berorientasi
pada hakikat dasar manusia dengan tidak menyisihkan sedikitpun dari
keberadaannya. Dari beberapa literatur yang dipelajari (Syamsul Huda, 2005;
Ainul Yaqin, 2005; Taresha, 2006; dan Charles, 2001), nilai-nilai tersebut
meliputi:
1.
Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan/humanitas
2.
Kebebasan beragama bagi masyarakat
3.
Demokrasi dalam semua aspek tatanan
sosial
4.
Toleransi antar sesama manusia
5.
Rekonsiliasi/perdamaian di muka
bumi
6.
Cinta, kasih sayang, saling menolong, saling melindungi dan memberi
keselamatan
7.
Keadilan/kesetaraan/egaliter
8.
Kemaslahatan sosial
9.
Kelestarian budaya-budaya
masyarakat
Berangkat
dari nilai-nilai yang dikembangkan ini, maka sebenarnya tidaklah perlu
diragukan atau dikhawatirkan adanya inisiatif atau ide untuk menyelenggarakan
pendidikan yang berorientasi pluralisme dan multikultural dalam bentuk
institusi pendidikan, apalagi dalam konteks ke-Indonesia-an.
D. Faktor Penyebab Kegagalan Pendidikan Agama dalam Menumbuhkan Pluralisme
(sebuah kritik?)
Pendidikan
pluralisme multikultural sampai saat ini belum mendapatkan respons yang tinggi
dari masyarakat, terutama tokoh-tokoh agamawan tradisional yang berada di
tengah-tengah masyarakat. Persoalannya adalah karena adanya unsur kekhawatiran
yang berlebihan jika penyelenggaraan pendidikan pluralisme-multikultural akan
menjadi penyebab terjadinya perpindahan penganut agama. Sebenarnya,
kekhawatiran ini merupakan kegundahan yang berlebihan. Analis soal-soal
kemasyarakatan menyampaikan kritik atas munculnya fenomena ini.
Menurut
Ainul Yaqin (2005), para analis berasumsi bahwa telah terjadi kegagalan dalam
penumbuhan sikap pluralis dan multikultural, yang mana hal ini disebabkan oleh
realitas sebagai berikut:
1.
Pendidikan agama lebih menekankan pada transfer ilmu agama ketimbang pada
proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik.
2.
Pendidikan agama tidak lebih dari sekadar sebagai “hiasan kurikulum”
belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata.
3.
Kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung
kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong,
suka damai dan toleransi.
4.
Kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.
E. Pendidikan Pluralisme-Multikultural: Suatu
Bentuk Pendidikan Alternatif dalam Konteks Indonesia
Jika
pendidikan pluralisme-multikultural diaplikasikan dan diimplementasikan di
Indonesia, maka sesungguhnya wacana ini sangat berdasar. Ditinjau dari aspek
ontologis, epistemologis dan aksiologisnya, kemungkinan dilaksanakannya
pendidikan pluralisme-multikultural di Indonesia adalah beralasan. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Dasar Pemikiran:
1.
Dasar filosofis: Pancasila
2.
Dasar konstitusional: UUD 1945
3.
Realitas Keragaman: Bhinneka Tunggal Ika
4.
Aksiologis: Solusi bagi konflik
bernuansa SARA
5.
Kegagalan pendidikan menjalin
keragaman melalui pendidikan yang melampaui sekat-sekat agama.
b.
Definisi:
1.
Pendidikan yang mengandaikan kita
untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas
kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat
“kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki
baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita (Magnez Suseno, 2000).
2.
Proses pengembangan seluruh
potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heteroginitasnya sebagai
konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran/agama (Dawam, 2003)
3.
Pendidikan yang berorientasi pada
proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan
multikultural. Dan ini disebut pendidikan pluralis-multikultural (Muhammad Ali,
2002).
c.
Maksud dan Tujuan
1.
Sebagai upaya komprehensif
mencegah dan menanggulangi konflik etnis, agama, separatisme, dan disintegrasi
bangsa (Ali, 2003).
2.
Mengantarkan peserta didik untuk
dapat memandang pluralitas ke-Indonesia-an dalam berbagai aspek sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai kekayaan spiritual bangsa yang
harus tetap terjaga kelestariannya.
F. Kurikulum Pendidikan
Pluralisme-Multikultural
Ketika pendidikan pluralisme-multikultural hendak
diaplikasikan pada konteks Indonesia, maka satu hal yang sangat mendasar untuk
dipikirkan adalah persoalan kurikulum yang akan menjadi pijakannya, karena
kurikulum adalah core-nya pendidikan. Ada beberapa pemikiran tentang kurikulum
yang harus diperhatikan oleh penyelenggara pendidikan pluralisme-multikultural
(Syamsul Ma’arif, 2005), antara lain sebagai berikut:
1.
Pendidikan sekolah harus membekali
peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami
pengetahuan yang diperoleh dari lingkungannya (UNESCO, 1981).
2.
Kurikulum yang ideal adalah
kurikulum yang dapat menunjang proses peserta didik menjadi manusia yang
demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk
menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi yang tidak hanya pandai tetapi juga
bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan
menghormati hak orang lain.
3.
Mengembangkan kurikulum sebagai
proses, yakni:
·
posisi siswa sebagai subjek
dalam belajar;
·
cara belajar siswa yang
ditentukan oleh latar belakang budayanya;
·
lingkungan budaya mayoritas
masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultur siswa;
·
lingkungan budaya siswa
adalah sumber belajar.
G. Garis-garis Yang Dapat Dijadikan
Pedoman Membuat Kurikulum Pendidikan Pluralisme-Multikultural
Disamping pemikiran-pemikiran di atas pada poin 7, ada
beberapa criteria yang menjadi pedoman dalam penyusunan kurikulum pendidikan
pluralisme-multikultural (Ainul Yaqin, 2005), yaitu sebagai berikut:
1.
Penyusunan kurikulum harus
didasarkan pada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, norma-norma atau
nilai-nilai absolut yang diambil dari agama-agama besar dunia dan hubungan
integral antara Tuhan, manusia, dan alam.
2.
Karena ilmu pengetahuan datang
dari Tuhan, maka manusia tidak dapat disebut sebagai pembuat ilmu pengetahuan
(the creators of knowledge). Akan tetapi disebabkan manusia dapat dengan mudah
menemukan aspek-aspek yang terkandung dalam dunia ini, maka nilai-nilai
kemanusiaan dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk menyeleksi,
menginvestigasi, menerima, dan menikmati adanya sebuah kebenaran.
3.
Peserta didik diharuskan
mengetahui hirarkhi antara ilmu pengetahuan dan sumber nilai. Ilmu pengetahuan
diperoleh melalui sebuah pengalaman yang harus tunduk terhadap pengetahuan
rasional, dan pengetahuan rasional harus tunduk terhadap norma-norma agama yang
datang dari Tuhan.
4.
Keimanan dan nilai-nilai harus
diakui sebagai dasar kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, keduanya tidak boleh
dipisahkan dalam proses belajar mengajar. Ilmu pengetahuan tidak harus
ditunjukkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan pandangan agama. Dengan
demikian, dalam pendidikan harus digunakan untuk mendorong value atau
nilai-nilai yang baik.
5.
Manusia tidak dapat mengetahui
kebenaran absolut, tetapi suatu kebenaran dapat direalisasikan pada level yang
berbeda-beda melalui perasaan, pemikiran, institusi, dan intelektual. Keempat
bentuk ini harus bekerja secara harmoni dan terintegrasikan ke dalam sebuah
sistem pendidikan yang komprehensif.
6.
Peserta didik harus didorong untuk
mengetahui prinsip-prinsip unity and diversity dan menyadari adanya dasar-dasar
keamanan yang menembus dunia biologis dan psikis. Ini sebuah refleksi terhadap
sebuah kesatuan prinsip-prinsip penciptaan dunia. Dunia adalah sebuah sistem
yang mempersatukan (the universe is a unified system) dan terdapat suatu
hubungan integral di atara bagian-bagian yang berbeda-beda. (Dikutip dari
Syeikh Abdul Mahbub, “An Integrated Education System in A Multi-Faith and
Multi-Cultural Country”, 1991: 39-44).
H. Hal-hal Yang Harus Diperhatikan oleh
Pembuat Kurikulum, Penulis Textbook, dan Guru untuk Mengembangkan Kurikulum
Pluralisme di Indonesia.
Bagi pembuat atau pengembang kurikulum pendidikan
pluralisme-multikultural, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni:
1.
Mengubah filosofi kurikulum dari
yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan
tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
Filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme harus dirubah ke
filosofi humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial.
2.
Teori kurikulum tentang konten
(curriculum content) harus berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai
aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian
yang mencakup nilai, moral, prosedur, dan keterampilan yang harus dimiliki
peserta didik.
3.
Teori belajar yang digunakan dalam
kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan
politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi yang
bersifat individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free,
tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar belajar yang menempatkan siswa
sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif
masyarakat, bangsa, dan dunia.
4.
Proses belajar yang dikembangkan
bagi peserta didik harus berdasrkan proses yang memiliki tingkat isomorphism
yang tinggi dengan kenyataan sosial.Artinya, cara belajar individualistis harus
ditinggalkan menuju cara belajar berkelompok, kooperatif, dan bersaing secara
kelompok dalam situsi positif.
5.
Evaluasi yang digunakan harus
meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai
dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan harus
beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan.
Penggunaan asesmen (portofolio, catatan, observasi, wawancara) dapat digunakan.
(Dikutip dari Hamid, 2000:523).
6.
Pendekatan pengajaran harus lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan
harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik. Peserta didik adalah makhluk
yang unik sehingga tidak boleh ada penyeragaman-penyeragaman (Afkar, 2001 37).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
seluruh paparan di atas, maka pengembangan kurikulum pendidikan pluralisme
multikultural perlu mengacu kepada rekomendasi berikut:
1.
Keragaman (pluralitas) merupakan variabel bebas yang memiliki kontribusi
sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses
(curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented,
curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.
2.
Gunakan filosofi kurikulum humanisme,
progresivisme, dan rekonstruksi sosial
3.
Gunakan pendekatan pembelajaran
yang komunikatif
4.
Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan sesuai dengan spirit pluralisme dan
multikultural
5.
Tentukan materi kurikulum yang mengarah kepada kesadaran akan pluralitas
dan multikultural
6.
Gunakan pendekatan/metode/strategi/teknik pembelajaran yang mengakomodasi
kesadaran pluralitas dan multikultural
7.
Evaluasi kurikulum tidak sebatas pada penggunaan instrumen-instrumen baku
yang terlalu formalistik agar bisa mengukur ketercapaian pemahaman dan
keasadaran akan pluralitas dan multikultural, tetapi harus komprehensif
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ainul Yaqin, M. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
2.
Maarif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia.
Yogyakarta: Logung Pustaka.
3.
Depag Ri. 1989. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: Badan Penterjemah
Al-qur’an.
4.
M. Syafi’i Anwar. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta:
Paramadina.
5.
Charles Kurzman (ed). 2001. Wacana Islam Liberal. Jakarta:
Paramadina.
6.
Alef Theria Wasim. 2006. Harmoni Kehidupan Beragama: Pronblem, Praktek
dan Pendidikan. Yogyakarta: Oasis Publisher.
7.
Marc Howard Ross. 1993. The
Culture of Conflict: Interpretations and Interest in Comparative Perspective.
US: Yale University Press.