PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBEBASAN
BAB I
PENDAHULUAN
UUD
1945 pasal 29 dan Amandemen UUD 1945 menegaskan bahwa negara menjamin
pendidikan dan penghidupan yang
layak bagi setiap warga
negara. Para founding father
negeri ini tentu menyadari bahwa hajat hidup dan hak-hak dasar warga negara
adalah menjadi tanggungjawab negara untuk memenuhinya. Itulah yang mendasari
mengapa pendidikan mendapatkan tempat khusus dalam UUD 1945 bersama hak-hak
hajat hidup manusia dan kemanusiaan lainnya. Maka pemerintah sebagai
penyelenggara negara mencanangkan program Wajib Belajar secara bertahap 9 dan
12 tahun sebagai pengejawantahan dari
nilai-nilai UUD 1945 tersebut.
Namun kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan adil bagi semua warga negara itu
agaknya masih jauh dari kenyataan. Dimulai dari kebiasaan ganti menteri ganti
kurikulum, pendidikan yang mahal hingga komersialisasi pendidikan. Pendidikan
yang baik tentu harus menyesuaikan dengan perubahan dan tuntutan jaman. Di
tengah masifnya arus perubahan dan globalisasi, maka sudah selayaknya perubahan
pendidikan itu dilakukan. Sehingga nantinya sekolah-sekolah tersebut
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dan memiliki nilai
kompetisi. Yang menjadi pertanyaan adalah, haruskah perubahan itu mengabaikan
esensi pendidikan yang sesungguhnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Guru dan Pendidikan Sebagai Pembebasan
Pendidikan merupakan landasan utama serta mendasar
dalam mewujudkan sebuah perubahan. Hanya dengan pendidikanlah; paradigma, sikap
dan perilaku umat manusia dapat berubah dan tercerahkan. Sehingga sangat benar
adanya ketika Jhon Locke seorang filosuf Inggris menggemakan pentingnya pendidikan. Menurut Locke,
“sejak lahir manusia merupakan sesuatu yang kosong dan dapat diisi dengan
pengalaman-pengalaman yang diberikan lewat pendidikan dan pembentukan yang
terus-menerus”.
Namun, pendidikan yang dapat mewujudkan
sebuah perubahan - (meminjam konsep Andrias Harefa (Menjadi Manusia Pembelajar:
2000) - bukan hanya sekadar “pengajaran (belajar mengetahui) dengan bermacam
teori dan hafalan, tetapi juga proses pembelajaran (belajar
menjadi)” yang meniscayakan spirit membebaskan. Belajar menjadi ini, tentunya
sejalan dengan eksistensi manusia sebagai makluk Tuhan yang berakal, yang
senantiasa selalu berproses menuju titik kesempurnaan (insan kamil).
Dengan
“pembelajaranlah” akan timbul kesadaran kemanusiaan, sehingga akan berkorelasi
pada tumbuhnya proses humanisasilearning to be (memanusiawikan manusia) akan memosisikan anak didik sebagai
subyek yang bebas dan merdeka dalam berekspresi dan berkreasi. “Anak didik
tidak lagi diperlakukan sebagai celengan kosong yang akan diisi sebagai sarana
tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan yang dipetik hasilnya kelak”
(Paulo Freire, 1999). Proses “pembelajaran” inilah yang mengalami defisit dalam
proses pendidikan saat ini.
Dalam
konteks Aceh, hal ini setidaknya diindikasikan dengan mulai terjadinya mogok mengajar
para guru. Bahkan ada semacam inklinasi, bahwa mogok mengajar sudah
mulai dipraksiskan sebagai strategi untuk meloloskan sebuah kepentingan. Ini
tidak akan menjadi sesuatu yang problematik adanya, ketika aksi mogok tersebut
tidak mengganggu waktu belajar anak didik.
Namun
seperti itulah realitas yang terjadi, hak belajar anak didik diabaikan sekadar
untuk mendahulukan kepentingan parsial para guru tersebut. Bisa jadi, sikap
paradoks ini disebabkan oleh paradigma yang melekat dalam benak dan kepala para
guru, bahwa anak didik tidak lebih sebagai “robot” yang tidak memiliki
kemerdekaan.
Kalau
sikap paradoks dibiarkan berlangsung seperti ini, maka sangat mungkin anak
didik yang akan jadi korban. Karena itu harus ada refleksi, otokritik dan
kesadaran kritis dari para guru, bahwa anak didik bukan “robot” yang bisa
diatur sekehendak hati, tetapi bahwasanya mereka adalah makluk berakal yang
memiliki potensi, apakah itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran),
nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh).
B. Perubahan
Paradigma
Sehingga
disini guru tidak sekadar melakukan peralihan ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) tapi juga yang sangat fundamen dan substansial adalah, guru
harus menempatkan diri sebagai mediator dan transformator yang baik. Sehingga
dapat mengeluarkan semua potensi terbaik para anak didiknya. Dan ini akan
berjalan efektif dan mencerahkan, ketika guru tidak lagi terpaku dengan
paradigma konvensional sebagaimana yang dikemukakan Freire diatas, yakni hanya
mengisi otak anak didik dengan pengajaran an-sich, layaknya celengan
kosong.
Oleh
karena itu, harus ada perubahan paradigma, yakni proses pembelajaran dialogis
dan partisipatoris. Ruang dialog yang kondusif dan keterlibatan secara
partisipatif, akan membuat anak didik merasa nyaman. Disini guru tak hanya
sekadar mentransfer pengetahuan, namun menyentuh hati mereka dengan kesejukan
dialog yang setara dan partisipatif.
Sehingga
akan memancing anak didik untuk proaktif dalam berkomunikasi, mengekspresikan
potensinya serta berkreasi sesuai dengan kemampuan alam pikir-nya. Dengan
sendirinya mereka akan terlatih untuk belajar bertanggung jawab terhadap segala
bentuk ekspresi dan kreatifitas yang mereka lakukan. Sekali lagi, ini akan
berjalan efektif, ketika guru memosisikan anak didik sebagai subyek
pembelajaran yang bebas dan merdeka.
Pendidikan
(baca:guru) yang mengapresiasi kemerdekaan anak didik secara proporsional, akan
menghasilkan orisinalitas dan kesadaran kritis bagi siswa; orisinil dalam
berkarya, memiliki kesadaran untuk membangun relasi yang setara (egaliter),
dan mengedepankan prinsip-prinsip moralitas serta selalu gelisah dan “berontak”
terhadap segala bentuk penindasan.
Adapun
konsekwensi dari pembelajaran
dialogis dan partisipatoris ini yakni guru harus siap dikritik oleh anak didik
apabila melakukan kekeliruan. Tidak ada alasan untuk alergi, apalagi anti
kritik. Sehingga menurut Soe Hok Gie, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk
keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau”
(Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran: 2005).
Sebaliknya,
pendidikan yang terfokus pada aspek pengajaran semata (belajar mengetahui),
akan menumpulkan anak didik pada kesadaran naïf. Kesadaran yang hanya menakar
sesuatu dengan ukuran kebendaan,
dan ujungnya terjerembab dalam kubangan pragmatis dan hedonis. Sehingga tidak
heran kalau korupsi, justru banyak dilakukan oleh oknum yang berpendidikan.
Bahkan,
kesadaran naïf telah menghinggapi para guru itu sendiri. Seperti yang diungkap
oleh Ahmad Baedhowi dalam artikelnya di Media Indonesia (8/2/2010), dimana
“sekitar 1.700 guru di Riau melakukan tindak pemalsuan pembuatan karya ilmiah
sebagai syarat sertifikasi guru. Untuk membuat karya ilmiah, para guru tersebut
menggunakan jasa calo, dan kebanyakan bahan diambil dari Google.” Boleh jadi,
perilaku plagiat (penjiplakan) yang memalukan sekaligus memiriskan ini terjadi
juga di daerah lain, tak terkecuali di Aceh.
Oleh
karena itu, pendidikan harus di artikulasikan dalam wujudnya yang seimbang,
antara pengajaran (doktrin) dan pembelajaran (dialogis-partisipatoris).
Sehingga kompleksitas kognitif akan berjalan dalam kontrol dan kaidah
moralitas. Dan yang tidak kalah penting, proses pendidikan yang menghargai
kemerdekaan anak didik akan melahirkan generasi yang bertanggung jawab. Bukan
generasi yang pandai ber-retorika dan ber-argumentasi, namun tumpul dalam hal
tanggung jawab. Bahkan hobi mencari kambing hitam.
Untuk itu, pendidikan harus berwatakkan pembebasan;
bebas dari penindasan, bebas dari plagiasi dan bebas dari arogansi doktrinal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan landasan utama serta mendasar
dalam mewujudkan sebuah perubahan. Hanya dengan pendidikanlah; paradigma, sikap
dan perilaku umat manusia dapat berubah dan tercerahkan. Pendidikan adalah hak
untuk seluruh warga negara tanpa terkecuali baik miskin atau kaya. Pendidikan
seharusnya bersifat egaliter, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan dan jauh
dari nilai-nilai komersil.
Guru
tidak sekadar melakukan peralihan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tapi
juga yang sangat fundamen dan substansial adalah, guru harus menempatkan diri
sebagai mediator dan transformator yang baik. Sehingga dapat mengeluarkan semua
potensi terbaik para anak didiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar