Jumat, 01 Juni 2012

Pend. Islam Multikultural


POLITIK PENDIDIKAN PLURALIS MULTIKULTURAL



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Politik Pendidikan Islam Pluralis Multikultural dengan baik.  Shalawat dan salam tak lupa kami sanjungkan kepada  Nabi Muhammad SAW.
Penulisan makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Islam  Multikultural di STAINU Kebumen Program S1 PAI  Semester VI tahun 2011.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.


Penyusun,



BAB I
PENDAHULUAN


Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.



BAB II
PEMBAHASAN


A.   Melacak Akar Pluralisme dan Multikulturalisme
Secara bahasa pluralisme berasal dari kata plural yang berarti majmuk/jamak dan multikultural dari kata multi + cultural yang berarti multi kebudayaan/peradaban. Menurut Oxpord Advanced Learner’s Dictionary (2000): “pluralism is the existence of many different group in one society, for example people of different races or of different political or religious beliefs: cultural or political pluralism”.
Pluralisme adalah paham/isme tentang pluralitas, yakni kesadaran akan realitas keragaman kehidupan masyarakat dalam aspek budaya, sosial, politik, ekonomi,ideologi, agama, dan lainnya. Pluralisme, saat ini, lebih bermakna kesadaran terhadap kenyataan adanya keragaman agama yang dianut oleh manusia di dunia dan oleh karenanya tidak perlu terjadi adanya sikap menyalahkan terhadap orang lain yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (Syamsul Ma’arif, 2005: 11).
Multikulturalisme adalah paham dan keinsafan terhadap realitas perbedaan dan varietas budaya yang dimiliki masyarakat/manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Manusia (kelompok manusia) dari dulu hingga sekarang, secara kultural, tidak sama dan tidak pernah akan sama serta tidak akan bisa disamakan. Baik pluralisme maupun multikulturalisme, keduanya diakui keberadaannya dan harus diinsafi sebagai sebuah realitas kehidupan manusia di muka bumi. Mengingkari keberadaannya berarti mengingkari eksistensi dirinya sebagai manusia yang berbudaya dan memiliki isme-isme ideologis-teologisnya (Ainul Yaqin, 2005).
Para pakar, secara prinsip, tidak membedakan istilah pluralisme dan multikultural. Keduanya digunakan secara sama, mereka terkadang menyebut pluralisme dan terkadang menyebut multikulturalisme.

B.   Perspektif Islam tentang Pluralisme dan Multikultural
Pandangan Islam terhadap pluralisme dan multicultural berdasarkan sumber hukumnya (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai berikut:
a.         Islam memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya (Q.S. Al-Ankabut: 46).
b.         Pluralitas adalah sebuah kenyataan objektif komunitas manusia. Allah menegaskan: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13).
c.         Islam memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya (Q.S. Al-Ankabut: 46).
d.        Al-Qur’an menegur keras Nabi Muhammad ketika ia menunjukkan keinginan menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya, sbb: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia di luar kesediaan mereka sendiri? (Q.S. 10:99).

C.   Pengakuan terhadap Pluralitas dan Multikulkural dalam Piagam Madinah
Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim (Ainul Yaqin, 2005: 51). Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal-hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah komunitas yang plural dan multi kultural antara lain:
a.         Seluruh suku yang ada di madinah disebut dalam pasal-pasal piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut.
b.         Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan budayanya secara totall.
c.         Secara garis besar piagam madinah memuat kesepakatan antara Muhammad, kaum musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi.
d.        Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.
e.         Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk.
f.          Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum muslimin dengan kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Quran (Q.S al-Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6)
g.         Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia.

C.   Nilai-nilai yang Dikembangkan dalam Semangat Pluralisme dan Multikultural
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan pluralisme-multikultural sangat berorientasi pada hakikat dasar manusia dengan tidak menyisihkan sedikitpun dari keberadaannya. Dari beberapa literatur yang dipelajari (Syamsul Huda, 2005; Ainul Yaqin, 2005; Taresha, 2006; dan Charles, 2001), nilai-nilai tersebut meliputi:
1.        Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan/humanitas
2.        Kebebasan beragama bagi masyarakat
3.        Demokrasi dalam semua aspek tatanan sosial
4.        Toleransi antar sesama manusia
5.        Rekonsiliasi/perdamaian di muka bumi
6.        Cinta, kasih sayang, saling menolong, saling melindungi dan memberi keselamatan
7.        Keadilan/kesetaraan/egaliter
8.        Kemaslahatan sosial
9.        Kelestarian budaya-budaya masyarakat
Berangkat dari nilai-nilai yang dikembangkan ini, maka sebenarnya tidaklah perlu diragukan atau dikhawatirkan adanya inisiatif atau ide untuk menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pluralisme dan multikultural dalam bentuk institusi pendidikan, apalagi dalam konteks ke-Indonesia-an.

D.   Faktor Penyebab Kegagalan Pendidikan Agama dalam Menumbuhkan Pluralisme (sebuah kritik?)
Pendidikan pluralisme multikultural sampai saat ini belum mendapatkan respons yang tinggi dari masyarakat, terutama tokoh-tokoh agamawan tradisional yang berada di tengah-tengah masyarakat. Persoalannya adalah karena adanya unsur kekhawatiran yang berlebihan jika penyelenggaraan pendidikan pluralisme-multikultural akan menjadi penyebab terjadinya perpindahan penganut agama. Sebenarnya, kekhawatiran ini merupakan kegundahan yang berlebihan. Analis soal-soal kemasyarakatan menyampaikan kritik atas munculnya fenomena ini.
Menurut Ainul Yaqin (2005), para analis berasumsi bahwa telah terjadi kegagalan dalam penumbuhan sikap pluralis dan multikultural, yang mana hal ini disebabkan oleh realitas sebagai berikut:
1.         Pendidikan agama lebih menekankan pada transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik.
2.         Pendidikan agama tidak lebih dari sekadar sebagai “hiasan kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata.
3.         Kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi.
4.         Kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.

E.   Pendidikan Pluralisme-Multikultural: Suatu Bentuk Pendidikan Alternatif dalam Konteks Indonesia
Jika pendidikan pluralisme-multikultural diaplikasikan dan diimplementasikan di Indonesia, maka sesungguhnya wacana ini sangat berdasar. Ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya, kemungkinan dilaksanakannya pendidikan pluralisme-multikultural di Indonesia adalah beralasan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.         Dasar Pemikiran:
1.        Dasar filosofis: Pancasila
2.        Dasar konstitusional: UUD 1945
3.        Realitas Keragaman: Bhinneka Tunggal Ika
4.        Aksiologis: Solusi bagi konflik bernuansa SARA
5.        Kegagalan pendidikan menjalin keragaman melalui pendidikan yang melampaui sekat-sekat agama.
b.         Definisi:
1.        Pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita (Magnez Suseno, 2000).
2.        Proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heteroginitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran/agama (Dawam, 2003)
3.        Pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural. Dan ini disebut pendidikan pluralis-multikultural (Muhammad Ali, 2002).
c.         Maksud dan Tujuan
1.        Sebagai upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis, agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa (Ali, 2003).
2.        Mengantarkan peserta didik untuk dapat memandang pluralitas ke-Indonesia-an dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai kekayaan spiritual bangsa yang harus tetap terjaga kelestariannya.

F.    Kurikulum Pendidikan Pluralisme-Multikultural
Ketika pendidikan pluralisme-multikultural hendak diaplikasikan pada konteks Indonesia, maka satu hal yang sangat mendasar untuk dipikirkan adalah persoalan kurikulum yang akan menjadi pijakannya, karena kurikulum adalah core-nya pendidikan. Ada beberapa pemikiran tentang kurikulum yang harus diperhatikan oleh penyelenggara pendidikan pluralisme-multikultural (Syamsul Ma’arif, 2005), antara lain sebagai berikut:
1.         Pendidikan sekolah harus membekali peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungannya (UNESCO, 1981).
2.         Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses peserta didik menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
3.         Mengembangkan kurikulum sebagai proses, yakni:
·           posisi siswa sebagai subjek dalam belajar;
·           cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya;
·           lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultur siswa;
·           lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.

G.   Garis-garis Yang Dapat Dijadikan Pedoman Membuat Kurikulum Pendidikan Pluralisme-Multikultural
Disamping pemikiran-pemikiran di atas pada poin 7, ada beberapa criteria yang menjadi pedoman dalam penyusunan kurikulum pendidikan pluralisme-multikultural (Ainul Yaqin, 2005), yaitu sebagai berikut:
1.         Penyusunan kurikulum harus didasarkan pada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, norma-norma atau nilai-nilai absolut yang diambil dari agama-agama besar dunia dan hubungan integral antara Tuhan, manusia, dan alam.
2.         Karena ilmu pengetahuan datang dari Tuhan, maka manusia tidak dapat disebut sebagai pembuat ilmu pengetahuan (the creators of knowledge). Akan tetapi disebabkan manusia dapat dengan mudah menemukan aspek-aspek yang terkandung dalam dunia ini, maka nilai-nilai kemanusiaan dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk menyeleksi, menginvestigasi, menerima, dan menikmati adanya sebuah kebenaran.
3.         Peserta didik diharuskan mengetahui hirarkhi antara ilmu pengetahuan dan sumber nilai. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui sebuah pengalaman yang harus tunduk terhadap pengetahuan rasional, dan pengetahuan rasional harus tunduk terhadap norma-norma agama yang datang dari Tuhan.
4.         Keimanan dan nilai-nilai harus diakui sebagai dasar kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, keduanya tidak boleh dipisahkan dalam proses belajar mengajar. Ilmu pengetahuan tidak harus ditunjukkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan pandangan agama. Dengan demikian, dalam pendidikan harus digunakan untuk mendorong value atau nilai-nilai yang baik.
5.         Manusia tidak dapat mengetahui kebenaran absolut, tetapi suatu kebenaran dapat direalisasikan pada level yang berbeda-beda melalui perasaan, pemikiran, institusi, dan intelektual. Keempat bentuk ini harus bekerja secara harmoni dan terintegrasikan ke dalam sebuah sistem pendidikan yang komprehensif.
6.         Peserta didik harus didorong untuk mengetahui prinsip-prinsip unity and diversity dan menyadari adanya dasar-dasar keamanan yang menembus dunia biologis dan psikis. Ini sebuah refleksi terhadap sebuah kesatuan prinsip-prinsip penciptaan dunia. Dunia adalah sebuah sistem yang mempersatukan (the universe is a unified system) dan terdapat suatu hubungan integral di atara bagian-bagian yang berbeda-beda. (Dikutip dari Syeikh Abdul Mahbub, “An Integrated Education System in A Multi-Faith and Multi-Cultural Country”, 1991: 39-44).

H.   Hal-hal Yang Harus Diperhatikan oleh Pembuat Kurikulum, Penulis Textbook, dan Guru untuk Mengembangkan Kurikulum Pluralisme di Indonesia.
Bagi pembuat atau pengembang kurikulum pendidikan pluralisme-multikultural, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni:
1.         Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme harus dirubah ke filosofi humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial.
2.         Teori kurikulum tentang konten (curriculum content) harus berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup nilai, moral, prosedur, dan keterampilan yang harus dimiliki peserta didik.
3.         Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.
4.         Proses belajar yang dikembangkan bagi peserta didik harus berdasrkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial.Artinya, cara belajar individualistis harus ditinggalkan menuju cara belajar berkelompok, kooperatif, dan bersaing secara kelompok dalam situsi positif.
5.         Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan harus beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan. Penggunaan asesmen (portofolio, catatan, observasi, wawancara) dapat digunakan. (Dikutip dari Hamid, 2000:523).
6.         Pendekatan pengajaran harus lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik. Peserta didik adalah makhluk yang unik sehingga tidak boleh ada penyeragaman-penyeragaman (Afkar, 2001 37).



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Dari seluruh paparan di atas, maka pengembangan kurikulum pendidikan pluralisme multikultural perlu mengacu kepada rekomendasi berikut:
1.         Keragaman (pluralitas) merupakan variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.
2.         Gunakan filosofi kurikulum humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial
3.         Gunakan pendekatan pembelajaran yang komunikatif
4.         Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan sesuai dengan spirit pluralisme dan multikultural
5.         Tentukan materi kurikulum yang mengarah kepada kesadaran akan pluralitas dan multikultural
6.         Gunakan pendekatan/metode/strategi/teknik pembelajaran yang mengakomodasi kesadaran pluralitas dan multikultural
7.         Evaluasi kurikulum tidak sebatas pada penggunaan instrumen-instrumen baku yang terlalu formalistik agar bisa mengukur ketercapaian pemahaman dan keasadaran akan pluralitas dan multikultural, tetapi harus komprehensif



DAFTAR PUSTAKA


1.        Ainul Yaqin, M. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
2.        Maarif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
3.        Depag Ri. 1989. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: Badan Penterjemah Al-qur’an.
4.        M. Syafi’i Anwar. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
5.        Charles Kurzman (ed). 2001. Wacana Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.
6.        Alef Theria Wasim. 2006. Harmoni Kehidupan Beragama: Pronblem, Praktek dan Pendidikan. Yogyakarta: Oasis Publisher.
7.        Marc Howard Ross. 1993. The Culture of Conflict: Interpretations and Interest in Comparative Perspective. US: Yale University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar