Sabtu, 02 Juni 2012

Pendidikan sbg Pembebasan



PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBEBASAN

BAB I
PENDAHULUAN

UUD 1945 pasal 29 dan Amandemen UUD 1945 menegaskan bahwa negara menjamin pendidikan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara. Para founding father negeri ini tentu menyadari bahwa hajat hidup dan hak-hak dasar warga negara adalah menjadi tanggungjawab negara untuk memenuhinya. Itulah yang mendasari mengapa pendidikan mendapatkan tempat khusus dalam UUD 1945 bersama hak-hak hajat hidup manusia dan kemanusiaan lainnya. Maka pemerintah sebagai penyelenggara negara mencanangkan program Wajib Belajar secara bertahap 9 dan 12 tahun sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai UUD 1945 tersebut.
Namun  kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan adil bagi semua warga negara itu agaknya masih jauh dari kenyataan. Dimulai dari kebiasaan ganti menteri ganti kurikulum, pendidikan yang mahal hingga komersialisasi pendidikan. Pendidikan yang baik tentu harus menyesuaikan dengan perubahan dan tuntutan jaman. Di tengah masifnya arus perubahan dan globalisasi, maka sudah selayaknya perubahan pendidikan itu dilakukan. Sehingga nantinya sekolah-sekolah tersebut menghasilkan lulusan yang sesuai  dengan kebutuhan dan memiliki nilai kompetisi. Yang menjadi pertanyaan adalah, haruskah perubahan itu mengabaikan esensi pendidikan yang sesungguhnya?


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Guru dan Pendidikan Sebagai Pembebasan
Pendidikan merupakan landasan utama serta mendasar dalam mewujudkan sebuah perubahan. Hanya dengan pendidikanlah; paradigma, sikap dan perilaku umat manusia dapat berubah dan tercerahkan. Sehingga sangat benar adanya ketika Jhon Locke seorang filosuf Inggris menggemakan pentingnya pendidikan. Menurut Locke, “sejak lahir manusia merupakan sesuatu yang kosong dan dapat diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diberikan lewat pendidikan dan pembentukan yang terus-menerus”.
Namun, pendidikan yang dapat mewujudkan sebuah perubahan - (meminjam konsep Andrias Harefa (Menjadi Manusia Pembelajar: 2000) - bukan hanya sekadar “pengajaran (belajar mengetahui) dengan bermacam teori dan hafalan, tetapi juga proses pembelajaran (belajar menjadi)” yang meniscayakan spirit membebaskan. Belajar menjadi ini, tentunya sejalan dengan eksistensi manusia sebagai makluk Tuhan yang berakal, yang senantiasa selalu berproses menuju titik kesempurnaan (insan kamil).
Dengan “pembelajaranlah” akan timbul kesadaran kemanusiaan, sehingga akan berkorelasi pada tumbuhnya proses humanisasilearning to be (memanusiawikan manusia) akan memosisikan anak didik sebagai subyek yang bebas dan merdeka dalam berekspresi dan berkreasi. “Anak didik tidak lagi diperlakukan sebagai celengan kosong yang akan diisi sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan yang dipetik hasilnya kelak” (Paulo Freire, 1999). Proses “pembelajaran” inilah yang mengalami defisit dalam proses pendidikan saat ini.
Dalam konteks Aceh, hal ini setidaknya diindikasikan dengan mulai terjadinya mogok mengajar para guru. Bahkan ada semacam inklinasi, bahwa mogok mengajar sudah mulai dipraksiskan sebagai strategi untuk meloloskan sebuah kepentingan. Ini tidak akan menjadi sesuatu yang problematik adanya, ketika aksi mogok tersebut tidak mengganggu waktu belajar anak didik.
Namun seperti itulah realitas yang terjadi, hak belajar anak didik diabaikan sekadar untuk mendahulukan kepentingan parsial para guru tersebut. Bisa jadi, sikap paradoks ini disebabkan oleh paradigma yang melekat dalam benak dan kepala para guru, bahwa anak didik tidak lebih sebagai “robot” yang tidak memiliki kemerdekaan.
Kalau sikap paradoks dibiarkan berlangsung seperti ini, maka sangat mungkin anak didik yang akan jadi korban. Karena itu harus ada refleksi, otokritik dan kesadaran kritis dari para guru, bahwa anak didik bukan “robot” yang bisa diatur sekehendak hati, tetapi bahwasanya mereka adalah makluk berakal yang memiliki potensi, apakah itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran), nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh).

B.   Perubahan Paradigma
Sehingga disini guru tidak sekadar melakukan peralihan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga yang sangat fundamen dan substansial adalah, guru harus menempatkan diri sebagai mediator dan transformator yang baik. Sehingga dapat mengeluarkan semua potensi terbaik para anak didiknya. Dan ini akan berjalan efektif dan mencerahkan, ketika guru tidak lagi terpaku dengan paradigma konvensional sebagaimana yang dikemukakan Freire diatas, yakni hanya mengisi otak anak didik dengan pengajaran an-sich, layaknya celengan kosong.
Oleh karena itu, harus ada perubahan paradigma, yakni proses pembelajaran dialogis dan partisipatoris. Ruang dialog yang kondusif dan keterlibatan secara partisipatif, akan membuat anak didik merasa nyaman. Disini guru tak hanya sekadar mentransfer pengetahuan, namun menyentuh hati mereka dengan kesejukan dialog yang setara dan partisipatif.
Sehingga akan memancing anak didik untuk proaktif dalam berkomunikasi, mengekspresikan potensinya serta berkreasi sesuai dengan kemampuan alam pikir-nya. Dengan sendirinya mereka akan terlatih untuk belajar bertanggung jawab terhadap segala bentuk ekspresi dan kreatifitas yang mereka lakukan. Sekali lagi, ini akan berjalan efektif, ketika guru memosisikan anak didik sebagai subyek pembelajaran yang  bebas dan merdeka.
Pendidikan (baca:guru) yang mengapresiasi kemerdekaan anak didik secara proporsional, akan menghasilkan orisinalitas dan kesadaran kritis bagi siswa; orisinil dalam berkarya, memiliki kesadaran untuk membangun relasi yang setara (egaliter), dan mengedepankan prinsip-prinsip moralitas serta selalu gelisah dan “berontak” terhadap segala bentuk penindasan.
Adapun konsekwensi dari pembelajaran dialogis dan partisipatoris ini yakni guru harus siap dikritik oleh anak didik apabila melakukan kekeliruan. Tidak ada alasan untuk alergi, apalagi anti kritik. Sehingga menurut Soe Hok Gie, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran: 2005).
Sebaliknya, pendidikan yang terfokus pada aspek pengajaran semata (belajar mengetahui), akan menumpulkan anak didik pada kesadaran naïf. Kesadaran yang hanya menakar sesuatu dengan ukuran  kebendaan, dan ujungnya terjerembab dalam kubangan pragmatis dan hedonis. Sehingga tidak heran kalau korupsi, justru banyak dilakukan oleh oknum yang berpendidikan.
Bahkan, kesadaran naïf telah menghinggapi para guru itu sendiri. Seperti yang diungkap oleh Ahmad Baedhowi dalam artikelnya di Media Indonesia (8/2/2010), dimana “sekitar 1.700 guru di Riau melakukan tindak pemalsuan pembuatan karya ilmiah sebagai syarat sertifikasi guru. Untuk membuat karya ilmiah, para guru tersebut menggunakan jasa calo, dan kebanyakan bahan diambil dari Google.” Boleh jadi, perilaku plagiat (penjiplakan) yang memalukan sekaligus memiriskan ini terjadi juga di daerah lain, tak terkecuali di Aceh.
Oleh karena itu, pendidikan harus di artikulasikan dalam wujudnya yang seimbang, antara pengajaran (doktrin) dan pembelajaran (dialogis-partisipatoris). Sehingga kompleksitas kognitif akan berjalan dalam kontrol dan kaidah moralitas. Dan yang tidak kalah penting, proses pendidikan yang menghargai kemerdekaan anak didik akan melahirkan generasi yang bertanggung jawab. Bukan generasi yang pandai ber-retorika dan ber-argumentasi, namun tumpul dalam hal tanggung jawab. Bahkan hobi mencari kambing hitam.
Untuk itu, pendidikan harus berwatakkan pembebasan; bebas dari penindasan, bebas dari plagiasi dan bebas dari arogansi doktrinal.


BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Pendidikan merupakan landasan utama serta mendasar dalam mewujudkan sebuah perubahan. Hanya dengan pendidikanlah; paradigma, sikap dan perilaku umat manusia dapat berubah dan tercerahkan. Pendidikan adalah hak untuk seluruh warga negara tanpa terkecuali baik miskin atau kaya. Pendidikan seharusnya bersifat egaliter, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan dan jauh dari nilai-nilai komersil.
Guru tidak sekadar melakukan peralihan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga yang sangat fundamen dan substansial adalah, guru harus menempatkan diri sebagai mediator dan transformator yang baik. Sehingga dapat mengeluarkan semua potensi terbaik para anak didiknya.

Jumat, 01 Juni 2012

Sistem Pend. di Arab Saudi


MAKALAH
PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM

SYSTEM PENDIDIKAN DI ARAB SAUDI

Dosen : M. Siswanto, M.Pd.I

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Sistem Pendidikan Di Arab Saudi dengan baik.  Shalawat dan salam tak lupa kami sanjungkan kepada  Nabi Muhammad SAW.
Penulisan makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan Islam  di STAINU Kebumen Program S1 PAI  Semester VI tahun 2011.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.


Penyusun,



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sebagai akumulasi respon terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini serta pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya. Indonesia yang merupakan negara berkembang, masih banyak masalah pendidikan yang melanda Indonesia. Salah satunya adalah pendidikan yang belum bisa mencerdaskan bangsa. Hal ini menuntut perlu adanya perbaikan system pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum.
Lalu bagaimana pendidikan di negeri Haji, Arab Saudi. Apakah kelebihan-kelebihan yang dimiliki pendidikan Arab Saudi, akankah dapat diambil beberapa perbandingan.  Kami akan coba paparkan tentang Sistem Pendidikan di Arab Saudi, mudah-mudahan bisa dimanfaatkan untuk menjadi bahan dalam mengembangkan pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik.

B.   Pembatasan Masalah
Karena keterbatasan pengetahuan kami dalam penyusunan makalah, maka dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi masalahnya sebagai berikut :
  1. Letak Geografis
  2. Sistem Pendidikan di Arab Saudi


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Letak Geografis
Kerajaan Arab Saudi berdiri pada tahun 1932 dan menempati 80 persen luas semenanjung Arab. Secara geografis negara ini berbatasan dengan Jordania, Kuwait, dan Irak di sebelah utara, Laut Merah di sebelah barat, Qatar dan Uni Emirat Arab di sebelah timur, serta Yaman dan Oman di sebelah selatan.  Saudi Arabia adalah negara yang menganut hukum berbasis Islam dimana hukum syariah sebagai dasar konstitusi dan sistem hukum.
Penemuan ladang minyak dan peningkatan konsumsi minyak pada awal tahun 1970-an mendorong perkembangan industri dan urbanisasi yang begitu pesat. Saat ini, 70% populasinya menghuni kota-kota besar dan tulang punggung perekonomian masih bergantung pada industri minyak, sementara Arab Saudi banyak menggunakan tenaga asing karena kebutuhan SDM yang begitu besar.

B.   Sistem Pendidikan di Arab Saudi
Disamping sisi dunia kerja, daya tarik Arab Saudi yang lain adalah dunia pendidikan. Sistem pendidikan di Arab Saudi memisahkan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan syariat Islam. Secara umum, sistem pendidikan dibagi menjadi 3 bagian utama:
1.    Pendidikan umum untuk laki-laki
2.    Pendidikan umum untuk perempuan
3.    Pendidikan Islam untuk laki-laki
Untuk pendidikan umum, baik laki-laki dan perempuan mendapat kurikulum yang sama dan ujian tahunan yang sama pula. Pendidikan umum dibagi menjadi 4 bagian:
1.    Pendidikan Dasar yang terdiri dari SD (6-12 tahun).
2.    Pendidikan Menengah (12 – 15 tahun).
3.    Pendidikan Sekunder (15-18 tahun).
4.    Pendidikan Tinggi (Universitas atau Akademi).

Pendidikan Islam tradisional bagi laki-laki difokuskan untuk membentuk calon-calon anggota dewan ulama. Kurikulum untuk sekolah Islam tradisional juga sebagian menggunakan kurikulum pendidikan umum, tetapi fokusnya pada Studi Islam dan Bahasa Arab. Untuk pendidikan agama, dilakukan di bawah supervisi dari Universitas Islam Imam Saud (Riyadh) dan Universitas Islam Madinah (Madinah). Namun demikian, di universitas-universitas umum, pelajaran agama Islam merupakan mata kuliah wajib apapun jurusan yang diambil mahasiswa.
Pada tahun 1985, total anggaran untuk pendidikan mencapai US$ 2.5 milyar atau setara dengan 3.6 percent dari total anggaran belanja nasional Arab Saudi. Setiap mahasiswa lokal maupun asing di universitas negeri mendapat beasiswa setiap bulan dari kementerian pendidikan sebesar SAR 800 hingga SAR 1000.
Sistem Pendidikan  di Arab Saudi terdiri dari pendidikan dasar,  pendidikan sekunder, dan pendidikan tinggi yang akan dijabarkan lebih jauh sebagai berikut:
1.     Pendidikan Dasar (Primary Education), terdiri dari:
a.       Sekolah Dasar
Durasi: 6 tahun (umur 6 – 12 tahun)
Pelajaran wajib: bahasa arab, seni, geografi, sejarah, ekonomi rumah tangga (khusus perempuan), matematika, pendidikan fisika (khusus laki-laki), studi Islam, dan sains.
b.      Sekolah Menengah
Durasi: 3 tahun (umur 12 – 15 tahun)
Pelajaran wajib: bahasa arab, seni, bahasa inggris, geografi, sejarah, ekonomi rumah (khusus perempuan), matematika, pendidikan fisika (khusus laki-laki), studi Islam, dan sains.

2.  Pendidikan Lanjutan (Secondary Education), terdiri dari:
a.       Pendidikan Lanjutan Umum
Durasi: 3 tahun (umur 15 – 18 tahun).
Pelajaran wajib: selama tahun pertama mendapat pelajaran umum yang sama, 2 tahun terakhir dibagi menjadi sains dan sosial (literacy). Siswa yang mempunyai grade 60% atau lebih boleh memilih keduanya, sedangkan yang kurang 60% harus memilih sosial.
Pelajaran umum: Bahasa arab, biologi, kimia, bahasa inggris, geografi, sejarah, ekonomi rumah tangga (khusus perempuan), matematika, pendidikan fisika (khusus laki-laki), dan pendidikan agama.
b.      Pendidikan Lanjutan Agama
Durasi: 3 tahun (umur 15 – 18 tahun).
Bahasa arab dan literature, bahasa Inggris, kebudayaan umum, geografi, sejarah, dan pendidikan agama.
c.       Pendidikan Lanjutan Teknik
Ada tiga tipe pendidikan lanjutan teknik yaitu teknikal, komersial, dan agrikultural.
Durasi: 3 tahun (umur 15 – 18 tahun).
Kurikulum:
-  Teknikal: gambar arsitektur, otomotif, elektrikal, mekanika mesin, mekanika metal, radio dan televisi. Dengan pelajaran tambahan bahasa Arab, kimia, bahasa Inggris, matematika, pendidikan fisika, fisika, dan pendidikan agama.
-  Komersial: bahasa Arab, akuntansi dan pembukuan, korespondensi komersial, ekonomi, bahasa Inggris, matematika ekonomi, matematika umum, geografi, manajemen dan kesekretariatan, dan pendidikan agama.
-  Agrikultural: ekonomi agrikultur, agronomi, perkembangbiakan hewan, biologi terapan, kimia terapan, matematika terapan, fisika terapan, bahasa Arab, bahasa Inggris, manajemen pertanian dan lahan, holtikultura, pendidikan agama, pemasaran, dan nutrisi pangan.

3.  Pendidikan Tinggi (Higher Education)
Pendidikan tinggi atau universitas di Arab Saudi terbagi menjadi dua bagian utama yakni Pendidikan Agama dan Pendidikan Umum. Namun demikian, sekarang sudah sangat banyak universitas yang menggabungkan keduanya. Jenis perguruan tinggi di Arab Saudi adalah universitas, institut untuk perempuan (college for women), institut administrasi publik (institute of public administration) dan institut keguruan (teacher training college). Semua universitas berada di bawah supervisi Kementerian Pendidikan Tinggi (Ministry of Higher Education) kecuali Universitas Islam Madinah (Islamic University of Medinah), Universitas terbaik di Arab Saudi untuk pendidikan agama Islam, yang berada di bawah supervisi dewan menteri (Council of Ministers). Untuk memasuki perguruan tinggi di Arab Saudi, calon mahasiswa harus memenuhi tes masuk perguruan tinggi (General Secondary Education Certificate Examination) atau Tawjihi.
1)      Pendidikan Tinggi Universitas
Untuk pendidikan tinggi universitas, tingkatannya sama seperti universitas pada umumnya, yaitu: Strata 1 (Bachelor), Strata 2 (Master), dan Strata 3 (Doctor). Untuk S1, waktu yang dibutuhkan adalah 4 tahun (minimal), tetapi untuk teknik, medis, dan farmasi dibutuhkan minimal 5 tahun untuk menyelesaikannya. Untuk S2 (Master) dibutuhkan minimal 2 tahun untuk menyelesaikannya dengan syarat harus sudah menyelesaikan S1.
Ada dua jalur untuk S2, dengan tesis (by thesis) atau dengan kuliah (by course). Apabila kita mengambil jalur tesis, maka setelah menyelesaikan matakuliah yang sudah ditentukan, kita harus menyelesaikan tesis kurang lebih selama satu tahun ( 2 semester), sedangkan untuk jalur kuliah, kita hanya perlu menyelesaikas seluruh mata kuliah yang telah ditentukan, namun dengan jumlah mata kuliah yang lebih banyak.
Untuk S3, lama waktu yang dibutuhkan adalah 3 tahun setelah menyelesaikan S2. untuk S3, kita harus menyelesaikan mata kuliah dan mengumpulkan disertasi yang merupakan hasil riset independen yang telah dilakukan. Selain itu, tambahan syarat kadang-kadang diperlukan, seperti: minimal mempublikasikan jurnal internasioanl atau konferensi internasional.
Sebagai tambahan, ada beberapa universitas khusus untuk perempuan yang sebagian besar berfokus kepada ilmu pendidikan. Jenjang yang tersedia untuk universitas khusus perempuan ini mulai dari S1 sampai S3.
Universitas besar di Arab Saudi di antaranya King Saud University, King Fahd University of Petroleum and Mineral, King Abdul Aziz University, King Faisal University, dan universitas baru King Abdullah University of Science and Technology (KAUST).
2)      Pendidikan Tinggi Non Universitas
a.     Technical College
Pendidikan tinggi ini setara dengan diploma yang harus diselesaikan selama 3 tahun. Bidang-bidang yang tersedia: control otomatis, sistem elektrikal otomatis, otomotif, perlengkapan elektrik, instalasi elektrik, kimia industri, elektronik industri, dan teknik produksi.
b.    Higher Technical Institute
Pendidikan ini seperti layaknya D1 yang dapat diselesaikan selama 1 tahun saja.
c.     Higher Technical Institutes for Financial and Commercial Science
Pendidikan tinggi ini khusus untuk ilmu keuangan dan komersial. Kurikulum yang tersedia adalah: akuntansi, korespondensi komersil dan bisnis, bahasa ingris, asuransi, kebudayaan Islam, pemasaran dan periklanan, pembelian dan inventori, , dan kesekretariatan. Lama pendidikan yang harus ditempuh adalah selama 2 tahun.
d.    The Institute of Public Administration
Lama studi untuk jenis pendidikan tinggi ini adalah selama 2 sampai 3 tahun. Bidang-bidang yang tersedia adalah: perbankan (2 tahun), pemrosesan data elektronik (2.5 tahun), administrasi rumah sakit (2 tahun), ilmu kepustakaan (3 tahun), ilmu personil (2 tahun), ilmu kesekretariatan (2 tahun), dan ilmu pergudangan (2 tahun).
e.     Teacher Training College
Untuk pendidikan keguruan terbagi menjadi 3 jurusan: guru sekolah dasar dan menengah pertama (primary school), guru sekolah menengah atas (secondary school), dan guru pendidikan lanjut (higher education).


BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Daya tarik Arab Saudi disamping sisi dunia kerja, adalah dunia pendidikan. Sistem pendidikan di Arab Saudi memisahkan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan syariat Islam. Secara umum, sistem pendidikan dibagi menjadi 3 bagian utama: Pendidikan umum untuk laki-laki, Pendidikan umum untuk perempuan dan Pendidikan Islam untuk laki-laki.
Pendidikan Islam tradisional bagi laki-laki difokuskan untuk membentuk calon-calon anggota dewan ulama. Kurikulum untuk sekolah Islam tradisional juga sebagian menggunakan kurikulum pendidikan umum, tetapi fokusnya pada Studi Islam dan Bahasa Arab. Untuk pendidikan agama, dilakukan di bawah supervisi dari Universitas Islam Imam Saud (Riyadh) dan Universitas Islam Madinah (Madinah).
Sistem Pendidikan  pada pendidikan umum di Arab Saudi terdiri dari pendidikan dasar,  pendidikan sekunder, dan pendidikan tinggi.

B.   Saran – saran
1.    Para pemimpin, khususnya pemimpin dalam bidang pendidikan, dalam memutuskan kebijakan tentang pendidikan,  hendaknya berdasarkan pada kriteria-kriteria yang baik, demi meningkatkan tujuan pendidikan ke arah yang lebih baik.
2.    Guru atau pendidik hendaknya selalu meningkatkan kompetensi keahliannya, agar pendidikan dapat berjalan dan mencapai hasil sesuai yang diharapkan.

Pend. Islam Multikultural


POLITIK PENDIDIKAN PLURALIS MULTIKULTURAL



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Politik Pendidikan Islam Pluralis Multikultural dengan baik.  Shalawat dan salam tak lupa kami sanjungkan kepada  Nabi Muhammad SAW.
Penulisan makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Islam  Multikultural di STAINU Kebumen Program S1 PAI  Semester VI tahun 2011.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.


Penyusun,



BAB I
PENDAHULUAN


Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.



BAB II
PEMBAHASAN


A.   Melacak Akar Pluralisme dan Multikulturalisme
Secara bahasa pluralisme berasal dari kata plural yang berarti majmuk/jamak dan multikultural dari kata multi + cultural yang berarti multi kebudayaan/peradaban. Menurut Oxpord Advanced Learner’s Dictionary (2000): “pluralism is the existence of many different group in one society, for example people of different races or of different political or religious beliefs: cultural or political pluralism”.
Pluralisme adalah paham/isme tentang pluralitas, yakni kesadaran akan realitas keragaman kehidupan masyarakat dalam aspek budaya, sosial, politik, ekonomi,ideologi, agama, dan lainnya. Pluralisme, saat ini, lebih bermakna kesadaran terhadap kenyataan adanya keragaman agama yang dianut oleh manusia di dunia dan oleh karenanya tidak perlu terjadi adanya sikap menyalahkan terhadap orang lain yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (Syamsul Ma’arif, 2005: 11).
Multikulturalisme adalah paham dan keinsafan terhadap realitas perbedaan dan varietas budaya yang dimiliki masyarakat/manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Manusia (kelompok manusia) dari dulu hingga sekarang, secara kultural, tidak sama dan tidak pernah akan sama serta tidak akan bisa disamakan. Baik pluralisme maupun multikulturalisme, keduanya diakui keberadaannya dan harus diinsafi sebagai sebuah realitas kehidupan manusia di muka bumi. Mengingkari keberadaannya berarti mengingkari eksistensi dirinya sebagai manusia yang berbudaya dan memiliki isme-isme ideologis-teologisnya (Ainul Yaqin, 2005).
Para pakar, secara prinsip, tidak membedakan istilah pluralisme dan multikultural. Keduanya digunakan secara sama, mereka terkadang menyebut pluralisme dan terkadang menyebut multikulturalisme.

B.   Perspektif Islam tentang Pluralisme dan Multikultural
Pandangan Islam terhadap pluralisme dan multicultural berdasarkan sumber hukumnya (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai berikut:
a.         Islam memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya (Q.S. Al-Ankabut: 46).
b.         Pluralitas adalah sebuah kenyataan objektif komunitas manusia. Allah menegaskan: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13).
c.         Islam memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya (Q.S. Al-Ankabut: 46).
d.        Al-Qur’an menegur keras Nabi Muhammad ketika ia menunjukkan keinginan menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya, sbb: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia di luar kesediaan mereka sendiri? (Q.S. 10:99).

C.   Pengakuan terhadap Pluralitas dan Multikulkural dalam Piagam Madinah
Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim (Ainul Yaqin, 2005: 51). Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal-hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah komunitas yang plural dan multi kultural antara lain:
a.         Seluruh suku yang ada di madinah disebut dalam pasal-pasal piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut.
b.         Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan budayanya secara totall.
c.         Secara garis besar piagam madinah memuat kesepakatan antara Muhammad, kaum musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi.
d.        Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.
e.         Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk.
f.          Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum muslimin dengan kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Quran (Q.S al-Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6)
g.         Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia.

C.   Nilai-nilai yang Dikembangkan dalam Semangat Pluralisme dan Multikultural
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan pluralisme-multikultural sangat berorientasi pada hakikat dasar manusia dengan tidak menyisihkan sedikitpun dari keberadaannya. Dari beberapa literatur yang dipelajari (Syamsul Huda, 2005; Ainul Yaqin, 2005; Taresha, 2006; dan Charles, 2001), nilai-nilai tersebut meliputi:
1.        Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan/humanitas
2.        Kebebasan beragama bagi masyarakat
3.        Demokrasi dalam semua aspek tatanan sosial
4.        Toleransi antar sesama manusia
5.        Rekonsiliasi/perdamaian di muka bumi
6.        Cinta, kasih sayang, saling menolong, saling melindungi dan memberi keselamatan
7.        Keadilan/kesetaraan/egaliter
8.        Kemaslahatan sosial
9.        Kelestarian budaya-budaya masyarakat
Berangkat dari nilai-nilai yang dikembangkan ini, maka sebenarnya tidaklah perlu diragukan atau dikhawatirkan adanya inisiatif atau ide untuk menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pluralisme dan multikultural dalam bentuk institusi pendidikan, apalagi dalam konteks ke-Indonesia-an.

D.   Faktor Penyebab Kegagalan Pendidikan Agama dalam Menumbuhkan Pluralisme (sebuah kritik?)
Pendidikan pluralisme multikultural sampai saat ini belum mendapatkan respons yang tinggi dari masyarakat, terutama tokoh-tokoh agamawan tradisional yang berada di tengah-tengah masyarakat. Persoalannya adalah karena adanya unsur kekhawatiran yang berlebihan jika penyelenggaraan pendidikan pluralisme-multikultural akan menjadi penyebab terjadinya perpindahan penganut agama. Sebenarnya, kekhawatiran ini merupakan kegundahan yang berlebihan. Analis soal-soal kemasyarakatan menyampaikan kritik atas munculnya fenomena ini.
Menurut Ainul Yaqin (2005), para analis berasumsi bahwa telah terjadi kegagalan dalam penumbuhan sikap pluralis dan multikultural, yang mana hal ini disebabkan oleh realitas sebagai berikut:
1.         Pendidikan agama lebih menekankan pada transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik.
2.         Pendidikan agama tidak lebih dari sekadar sebagai “hiasan kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata.
3.         Kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi.
4.         Kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.

E.   Pendidikan Pluralisme-Multikultural: Suatu Bentuk Pendidikan Alternatif dalam Konteks Indonesia
Jika pendidikan pluralisme-multikultural diaplikasikan dan diimplementasikan di Indonesia, maka sesungguhnya wacana ini sangat berdasar. Ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya, kemungkinan dilaksanakannya pendidikan pluralisme-multikultural di Indonesia adalah beralasan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.         Dasar Pemikiran:
1.        Dasar filosofis: Pancasila
2.        Dasar konstitusional: UUD 1945
3.        Realitas Keragaman: Bhinneka Tunggal Ika
4.        Aksiologis: Solusi bagi konflik bernuansa SARA
5.        Kegagalan pendidikan menjalin keragaman melalui pendidikan yang melampaui sekat-sekat agama.
b.         Definisi:
1.        Pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita (Magnez Suseno, 2000).
2.        Proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heteroginitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran/agama (Dawam, 2003)
3.        Pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural. Dan ini disebut pendidikan pluralis-multikultural (Muhammad Ali, 2002).
c.         Maksud dan Tujuan
1.        Sebagai upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis, agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa (Ali, 2003).
2.        Mengantarkan peserta didik untuk dapat memandang pluralitas ke-Indonesia-an dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai kekayaan spiritual bangsa yang harus tetap terjaga kelestariannya.

F.    Kurikulum Pendidikan Pluralisme-Multikultural
Ketika pendidikan pluralisme-multikultural hendak diaplikasikan pada konteks Indonesia, maka satu hal yang sangat mendasar untuk dipikirkan adalah persoalan kurikulum yang akan menjadi pijakannya, karena kurikulum adalah core-nya pendidikan. Ada beberapa pemikiran tentang kurikulum yang harus diperhatikan oleh penyelenggara pendidikan pluralisme-multikultural (Syamsul Ma’arif, 2005), antara lain sebagai berikut:
1.         Pendidikan sekolah harus membekali peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungannya (UNESCO, 1981).
2.         Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses peserta didik menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
3.         Mengembangkan kurikulum sebagai proses, yakni:
·           posisi siswa sebagai subjek dalam belajar;
·           cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya;
·           lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultur siswa;
·           lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.

G.   Garis-garis Yang Dapat Dijadikan Pedoman Membuat Kurikulum Pendidikan Pluralisme-Multikultural
Disamping pemikiran-pemikiran di atas pada poin 7, ada beberapa criteria yang menjadi pedoman dalam penyusunan kurikulum pendidikan pluralisme-multikultural (Ainul Yaqin, 2005), yaitu sebagai berikut:
1.         Penyusunan kurikulum harus didasarkan pada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, norma-norma atau nilai-nilai absolut yang diambil dari agama-agama besar dunia dan hubungan integral antara Tuhan, manusia, dan alam.
2.         Karena ilmu pengetahuan datang dari Tuhan, maka manusia tidak dapat disebut sebagai pembuat ilmu pengetahuan (the creators of knowledge). Akan tetapi disebabkan manusia dapat dengan mudah menemukan aspek-aspek yang terkandung dalam dunia ini, maka nilai-nilai kemanusiaan dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk menyeleksi, menginvestigasi, menerima, dan menikmati adanya sebuah kebenaran.
3.         Peserta didik diharuskan mengetahui hirarkhi antara ilmu pengetahuan dan sumber nilai. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui sebuah pengalaman yang harus tunduk terhadap pengetahuan rasional, dan pengetahuan rasional harus tunduk terhadap norma-norma agama yang datang dari Tuhan.
4.         Keimanan dan nilai-nilai harus diakui sebagai dasar kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, keduanya tidak boleh dipisahkan dalam proses belajar mengajar. Ilmu pengetahuan tidak harus ditunjukkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan pandangan agama. Dengan demikian, dalam pendidikan harus digunakan untuk mendorong value atau nilai-nilai yang baik.
5.         Manusia tidak dapat mengetahui kebenaran absolut, tetapi suatu kebenaran dapat direalisasikan pada level yang berbeda-beda melalui perasaan, pemikiran, institusi, dan intelektual. Keempat bentuk ini harus bekerja secara harmoni dan terintegrasikan ke dalam sebuah sistem pendidikan yang komprehensif.
6.         Peserta didik harus didorong untuk mengetahui prinsip-prinsip unity and diversity dan menyadari adanya dasar-dasar keamanan yang menembus dunia biologis dan psikis. Ini sebuah refleksi terhadap sebuah kesatuan prinsip-prinsip penciptaan dunia. Dunia adalah sebuah sistem yang mempersatukan (the universe is a unified system) dan terdapat suatu hubungan integral di atara bagian-bagian yang berbeda-beda. (Dikutip dari Syeikh Abdul Mahbub, “An Integrated Education System in A Multi-Faith and Multi-Cultural Country”, 1991: 39-44).

H.   Hal-hal Yang Harus Diperhatikan oleh Pembuat Kurikulum, Penulis Textbook, dan Guru untuk Mengembangkan Kurikulum Pluralisme di Indonesia.
Bagi pembuat atau pengembang kurikulum pendidikan pluralisme-multikultural, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni:
1.         Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme harus dirubah ke filosofi humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial.
2.         Teori kurikulum tentang konten (curriculum content) harus berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup nilai, moral, prosedur, dan keterampilan yang harus dimiliki peserta didik.
3.         Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.
4.         Proses belajar yang dikembangkan bagi peserta didik harus berdasrkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial.Artinya, cara belajar individualistis harus ditinggalkan menuju cara belajar berkelompok, kooperatif, dan bersaing secara kelompok dalam situsi positif.
5.         Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan harus beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan. Penggunaan asesmen (portofolio, catatan, observasi, wawancara) dapat digunakan. (Dikutip dari Hamid, 2000:523).
6.         Pendekatan pengajaran harus lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik. Peserta didik adalah makhluk yang unik sehingga tidak boleh ada penyeragaman-penyeragaman (Afkar, 2001 37).



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Dari seluruh paparan di atas, maka pengembangan kurikulum pendidikan pluralisme multikultural perlu mengacu kepada rekomendasi berikut:
1.         Keragaman (pluralitas) merupakan variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.
2.         Gunakan filosofi kurikulum humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial
3.         Gunakan pendekatan pembelajaran yang komunikatif
4.         Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan sesuai dengan spirit pluralisme dan multikultural
5.         Tentukan materi kurikulum yang mengarah kepada kesadaran akan pluralitas dan multikultural
6.         Gunakan pendekatan/metode/strategi/teknik pembelajaran yang mengakomodasi kesadaran pluralitas dan multikultural
7.         Evaluasi kurikulum tidak sebatas pada penggunaan instrumen-instrumen baku yang terlalu formalistik agar bisa mengukur ketercapaian pemahaman dan keasadaran akan pluralitas dan multikultural, tetapi harus komprehensif



DAFTAR PUSTAKA


1.        Ainul Yaqin, M. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
2.        Maarif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
3.        Depag Ri. 1989. Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: Badan Penterjemah Al-qur’an.
4.        M. Syafi’i Anwar. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
5.        Charles Kurzman (ed). 2001. Wacana Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.
6.        Alef Theria Wasim. 2006. Harmoni Kehidupan Beragama: Pronblem, Praktek dan Pendidikan. Yogyakarta: Oasis Publisher.
7.        Marc Howard Ross. 1993. The Culture of Conflict: Interpretations and Interest in Comparative Perspective. US: Yale University Press.